OM SWASTYASTU
Oleh :
I MADE YUDHA ASMARA, S.PD.H.
JUDUL SKRIPSI :
“Persembahyangan Purnama Tilem di Pura Kahyangan Tiga Desa Pakraman Alasngandang Kecamatan Rendang Kabupaten Karangasem (Perspektif Tri Kerangka Dasar Agama Hindu)”
|
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang Masalah
Agama Hindu merupakan agama yang tertua di dunia, ajaran-ajaranya
bersumber pada kitab suci Veda yang merupakan wahyu Tuhan Yang Maha Esa. Bila seseorang
secara mantap mengikuti semua ajaran agama yang bersumber pada sabda suci Tuhan
Yang Maha Esa itu, maka akan diperoleh ketentraman dan kebahagiaan hidup yang
sejati yang disebut “Moksatam jagadhita
ya ca iti dharma”(Titib, 2003 :2).
|
Agama
Hindu dikatakan agama yang luwes atau sering disebut dengan agama fleksibel. Ini dikarenakan agama Hindu khususnya di Bali
menyesuikan dengan sistem desa, kala dan patra. Dalam agama Hindu banyak terdapat ajaran-ajaran yang
tentunya tidak menyimpang dari kitab suci Veda.
Salah satu ajaran yang terpenting dan
merupakan dasar atau landasan bagi umat Hindu dalam pelaksanaan suatu
aktivitas keagamaan adalah ajaran Tri
Kerangka Dasar Agama Hindu yang berisikan tattwa, etika dan ritual.
Dimana peranan ketiga hal tersebut tidak pernah lepas dalam pelaksanaan suatu
kegiatan atau aktifitas agama Hindu. Seperti dalam bukunya Suhardana disebutkan
: “ Barang siapa yang ingin mendalami dan mempelajari Agama Hindu tersebut
hendaknya memahahami betul ketiga kerangka dasar Agama Hindu itu yaitu tattwa, susila dan ritual” (Suhardana 2006 : 6).
Tri Kerangka Dasar Agama Hindu merupakan tiga konsep yang mendasari ajaran Agama Hindu
tersebut. Tattwa, susila dan ritual atau upacara merupakan satu kesatuan
yang utuh yang harus dilaksanakan secara seimbang dalam melaksanakan suatu
aktivitas agama Hindu. Karena ketiga aspek ini saling melengkapi satu dengan
yang lainnya. Kalau salah satu dari ketiga aspek tersebut tidak dilaksanakan dengan baik, maka
tujuan dari agama Hindu yaitu “Moksatam
jagadhita ya ca iti dharma” tidak akan tercapai dengan sempurna. Sehingga
dalam setiap melaksanakan aktivitas
agama Hindu terutama dalam hal yadnya atau
persembahan suci tentu tidak pernah lepas dari konsep Tri Kerangka Dasar Agama Hindu (Sudharta, 2007 : 5).
Persembahyangan purnama tilem di Pura Kahyangan Tiga Desa Pakraman Alasngandang. Yang secara
rutin dilaksanakan setiap lima belas hari sekali secara bergiliran sesuai
pembagian tempek oleh masyarakat Desa Pakraman Alasngandang. Dalam pelaksanaan persembahyangan
purnama tilem yang termasuk bagian dari upacara Dewa Yadnya tentunya tidak pernah lepas dari konsep Tri Kerangka Dasar Agama Hindu yang
menjadi landasan terpenting yaitu dalam bidang tattwa atau filosofis ketuhanan, dalam bidang susila atau etika dalam berprilaku dan dalam bidang ritual atau upacaranya.
Secara
realita yang ada disekitar khususnya di Desa
Pakraman Alasngandang, pelaksanaan persembahyangan purnama tilem kalau dilihat
sepintas tidak diragukan lagi mengenai hal ritual
atau upacaranya. Tetapi dalam hal
etika dan tattwa atau filsafatnya kurang dipahami dan
terkadang dikesampingkan. Sebagian besar masyarakat Desa Pakraman Alasngandang didalam melaksanakan ritual atau upacara persembahyangan purnama tilem belum memahami secara
benar bagaimanakah cara beretika dengan baik dan semua hal tersebut berdasarkan
tattwa yang mana. Hal inilah yang
menjadi kebiasaan kurang baik oleh masyarakat Desa Pakraman Alasngandang khususnya dalam melaksanakan suatu
aktivitas keagamaan.
Etika
masyarakat Desa Pakraman Alasngandang
dalam melaksanakan upacara persembahyangan belum sesuai dengan apa yang
diharapkan sesuai dengan konsep Tri
Kerangka Dasar Agama Hindu. Seperti bagaimana sikap duduk yang benar dalam
sembahyang, bagaimana etika dalam nunas
tirta yang baik, bagaimana etika dalam menggunakan bija yang benar dan semua itu berdasarkan tattwa yang mana. Hal inilah yang belum dipahami dan dilaksanakan
dengan baik oleh masyarakat Desa Pakraman
Alasngandang dalam melaksanakan upacara persembahyangan purnama tilem. Contohnya dalam muspa
kramaning sembah, sikap duduk wanita ada yang menggunakan sikap silasana ada yang menggunakan sikap bajrasana, hal inilah yang perlu
dibenahi supaya kebiasaan yang kurang baik tersebut tidak berlanjut pada
generasi muda Hindu kedepan khususnya masyarakat Desa Pakraman Alasngandang.
Tattwa merupakan inti dari ajaran agama
Hindu yang belum dipahami secara benar oleh masyarakat Desa Pakraman Alasngandang terutama pada pelaksanaan
persembahyangan purnama tilem
tersebut. Seperti tattwa atau
filosofis dalam sarana upakara dupa,
bunga, kuwangen, canang dan lain
sebagainya belum diketahui oleh sebagian besar masyarakat Desa Pakraman Alasngandang. Masih banyak tattwa dan etika serta upacaranya yang perlu dipahami dan
dilaksanakan sesuai dengan konsep Tri
Kerangka Dasar Agama Hindu.
Tri Kerangka Dasar Agama Hindu sebagai
pedoman dasar dalam melaksanakan aktivitas keagamaan khususnya dalam
persembahyangan purnama tilem di Pura Kahyangan Tiga Desa Pakraman Alasngandang, supaya tujuan agama Hindu dapat
tercapai dengan benar. Sehingga dari latar belakang ini peneliti tertarik untuk
menjadikan suatu obyek penelitian menjadi sebuah karya ilmiah dalam bentuk
skripsi. Peneliti ingin mengetahui
penerapan ajaran tattwa, etika serta upacaranya dalam persembahyangan purnama
tilem di Desa Pakraman Alasngandang.
Yang kemudian peneliti mengangkat judul “Persembahyangan Purnama Tilem di Pura Kahyangan Tiga Desa Pakraman Alasngandang Kecamatan Rendang
Kabupaten Karangasem (Perspektif Tri
Kerangka Dasar Agama Hindu)”.
1.2
Rumusan
Masalah
Bertitik tolak dari latar belakang yang dikemukakan
diatas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimanakah Persembahyangan
Purnama Tilem di Pura Kahyangan Tiga Desa
Pakraman Alasngandang dalam Perspektif Tri
Kerangka Dasar Agama Hindu?
2. Nilai-Nilai
Pendidikan apakah yang
terdapat dalam Persembahyangan Purnama
Tilem di Pura Kahyangan Tiga Desa
Pakraman Alasngandang?
1.3 Tujuan
Penelitian
Penelitian yang berbentuk ilmiah sudah
tentu dilandasi dengan tujuan yang ingin dicapai, sebab berhasil tidaknya suatu
penelitian ditentukan oleh jelas tidaknya tujuan itu sendiri. Tujuan merupakan
syarat yang mutlak yang harus ada dalam penelitian. Penelitian yang baik adalah
penelitian yang tidak saja berhasil mengungkapkan masalah dan mencari solusi
atau pemecahan dari permasalahan tersebut, akan tetapi yang lebih penting
adalah bagaimana hasil dari penelitian ini memiliki daya efektif untuk mencapai
sasaran dan tujuan. Setiap kegiatan yang dilakukan dibuat suatu perencanaan
yang matang, sehingga dalam pelaksanaannya dapat meminimalkan hambatan yang akan ditemui serta hasil yang akan
dicapai sesuai dengan tujuan yang
ditetapkan. Demikian pula dengan penelitian ini sudah tentu memiliki tujuan
yang hendak dicapai. Adapun tujuan dari penelitian ini meliputi dua tujuan
pokok, yaitu tujuan yang bersifat umum dan tujuan yang bersifat khusus.
1.3.1
Tujuan Umum
Secara umum, penelitian ini bertujuan sebagai
salah satu persyaratan untuk menyelesaikan jenjang starata satu (S1) pada Institut
Hindu Dharma Negeri Denpasar, secara umum penelitian ini juga bertujuan sebagai pelaksanaan Tri Dharma Perguruan Tinggi yaitu
Pendidikan, Penelitian dan Pengabdian Masyarakat. Selain itu penelitian ini
bertujuan untuk dapat memberikan sumbangan pemikiran
serta memperkaya khasanah ilmu pengetahuan, khususnya ilmu pengetahuan tentang
tattwa, etika dan ritual dalam Persembahyangan Purnama Tilem, sehingga dapat dijadikan
pedoman dan landasan dalam mewujudkan kehidupan
yang harmonis baik lahir maupun bathin.
1.3.2
Tujuan Khusus
Adapun tujuan secara khusus yang ingin dicapai dalam
penelitian ini sesuai dengan rumusan masalah diatas adalah sebagai berikut :
1
Untuk
mengetahui persembahyangan
purnama tilem di Pura Kahyangan Tiga Desa
Pakraman Alasngandang dalam perspektif Tri
Kerangka Dasar Agama Hindu.
2
Untuk
mengetahui nilai-nilai
pendidikan yang terdapat dalam Persembahyangan Purnama Tilem di Pura
Kahyangan Tiga Desa Pakraman Alasngandang.
1.4 Manfaat
Penelitian
Manfaat penelitian adalah nilai guna dari kegiatan
penelitian. Setiap penulisan
karya ilmiah atau penelitian sudah tentu memiliki manfaat atau guna yang ingin
dicapai berupa hasil yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan saat ini maupun
yang akan datang. Melalui
pelaksanaan penelitian ini diharapkan hasilnya dapat memberikan manfaat, baik
secara teoritis maupun praktis. Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai
berikut :
1.4.1
Manfaat Teoretis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat
memberi manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan menambah
bahan pustaka mengenai persembahyangan purnama tilem yang berdasarkan
tattwa, etika dan ritual yang
dirangkum dalam ajaran Tri Kerangka Dasar Agama Hindu. Penelitian ini
diharapkan dapat memberikan sumbangan positif bagi pengembangan dan kemajuan
ilmu pengetahuan, khususnya tentang ajaran Tri Kerangka Dasar Agama Hindu.
1.4.2
Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan maamfaat
praktis sebagai berikut :
1.
Mendapatkan
pengetahuan yang lebih tentang tattwa,
etika, dan ritual
dalam ajaran Tri Kerangka Dasar Agama
Hindu khususnya
bagi masyarakat Desa Pakraman Alasngandang.
2.
Hasil
penelitian ini dapat dijadikan sumbangan pengetahuan bagi yang ingin lebih
mendalami ajaran Tri
Kerangka Dasar Agama Hindu.
3.
Bagi
masyarakat, dapat digunakan sebagai bahan acuan dan pertimbangan dalam melaksanakan persembahyangan purnama tilem
dengan tatwa, etika dan
ritual yang baik dan benar.
KAJIAN PUSTAKA, LANDASAN KONSEP DAN TEORI
2.1 Kajian Pustaka
Kajian pustaka merupakan langkah awal bagi peneliti dalam mengumpulkan informasi yang berhubungan dengan subyek penelitian yang akan dilaksanakan. Dalam suatu karya ilmiah, penggunaan kajian pustaka sangat penting dalam mendukung, mengungkapkan, serta menghasilkan suatu karya ilmiah yang berbobot. Dalam kajian pustaka ini, peneliti mencari sumber data kepustakaan sebagai pendukung khasanah pengetahuan, pustaka pembanding, serta menunjukkan perbedaan arah penelitian untuk meminimalisir kesamaan kajian. Kajian pustaka meliputi pengidentifikasian secara sistematis penemuan dan analisis dokumen-dokumen yang memuat informasi berkaitan dengan masalah penelitian (Sugiyono, 2007 : 80).
Kajian pustaka yang akan dikaji dalam mendukung penelitian ini, baik dalam bentuk pustaka-pustaka, buku-buku, karya ilmiah yang berupa skripsi dipandang perlu dan bermanfaat dalam upaya melaksanakan penelitian ini, sehingga tidak terjadi kesamaan dalam pembahasan sebuah objek penelitian. Adapun beberapa sumber pustaka atau hasil penelitian yang dijadikan sebagai bahan kajian pustaka antara lain sebagai berikut:
Dewi (2008), dalam penelitiannya “Pelaksanaan Persembahyangan Purnama Tilem Kampus IHD Negeri Denpasar di Singaraja (Perspektif Nilai Pendidikan Agama Hindu)”. Penelitian ini membahas tentang bagaimana proses pelaksanaan persembahyangan purnama tilem serta makna folosofis dari pelaksanaan persembahyangan purnama tilem tersebut. Sehingga penelitian ini dapat dijadikan acuan dalam membahas makna dan proses pelaksanaan persembahyangan purnama tilem di Desa Pakraman Alasngandang.
Widana (2009), dalam penelitiannya “Esensi Pelaksanaan Persembahyangan Purnama Tilem Dalam Meningkatkan Kualitas Sraddha Bhakti Sisswa di SD Dangin Tukap Tahun Pelajaran 2008/2009”. Dalam penelitian ini membahas esensi pelaksanaan persembahyangan purnama tilem terutama dalam meningkatkan sradha dan bhakti siswa, selain itu membahas tentang nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam pelaksanaan persembahyangan purnama tilem tersebut. Dalam hubungannya dengan penellitian ini, proses persembahyangan purnama tilem tersebut dapat meningkatkan pengetahuan tattwa, etika serta ritual masyarakat Desa Pakraman Alasngandang yang sesuai dengan ajaran Tri Kerangka Dasar agama Hindu.
Subagiasta (2006), dalam bukunya berjudul “ Teologi, Filsafat, Etika dan Ritual dalam Susastra Hindu” buku ini memberikan sumbangan mengenai nilai-nilai ajaran agama Hindu, terutama tentang teologi Hindu, Filsafat Hindu, Etika Hindu dan Ritual Hindu yang tersurat dalam beberapa susastra Hindu. Walaupun paparan buku kecil ini masih sangat terbatas, tentunya memiliki harapan mulia untuk bisa membangkitkan kecintaan pembaca terhadap beberapa susastra Hindu yang sarat dengan nilai kerohaniannya. Tentang filsafat Hindu dipaparkan dalam susastra Buana Kosa, Kusuma Dewa, Gong Besi, Siwagama, purana-purana, kuturan tattwa, tentang Etika Hindu dipaparkan sesuai susastra Sila Krama dan Slokantara. Sedangkan tentang ritual dipaparkan sesuai Kusuma Dewa, Siwa Gama dan Gong Besi. Sehingga buku ini dapat dijadikan pedoman dalam membahas ajaran Tri Kerangka Dasar Agama Hindu dalam persembahyangan purnama tilem tersebut.
Rudia (2004), dalam bukunya yang berjudul : “ Dasar-dasar Agama Hindu” memuat tentang dasar-dasar agama Hindu yaitu pengertian tattwa atau filsafat, etika dan upacara serta pengetahuan dasar-dasar agama Hindu mulai adri pokok-pokok Sradha dalam agama Hindu sampai dengan upacara-upacara Yadnya yang menyagkut hari-hari suci agama Hindu diantaranya adalah Purnama Tilem. Isi dari buku ini dapat dijadikan sebagai bahan acuan dalam penelitian persembahyangan puranma tilem yang tidak akan lepas dari dasar-dasar agama Hindu yaitu tattwa, etika dan ritual.
Raras (2004) dalam bukunya “ Purnama Tilem “ buku ini membahas tentang pengertian, makna filosofis beserta sejarah purnama tilem. Terkait dengan obyek penelitian yaitu upacara persembahyangan Purnama Tilem tersebut, buku ini sangat cocok dan menunjang dalam pembuatan penelitian ini. Karena buku ini memaparkan secara rinci tentang bagaimana pelaksanaan upacara Purnama Tilem tersebut baik dalam hal makna bersta sejarah purnama tilem tersebut.
Wiana (1992), dalam bukunya “Sembahyang Menurut Hindu” buku ini menjelaskan tuntunan dan manfaat bersembahyang, tetapi juga menjelaskan dengan rinci apa arti dan fungsi sarana persembahyangan bagi umat Hindu, seperti air, bunga, api dan lain-lain. Dalam kaitannya dengan penelitian ini adalah membahas tentang tata cara persembahyangan khususnya pada Persembahyangan purnama tilem, baik dari segi manfaat, fungsi serta sarana yang digunakan didalam persembahyangan purnama tilem. Sehingga buku ini sangat tepat dijadikan acuan dalam penulisan karya ilmiah ini yang membahas tentang persembahyangan purnama tilem dalam perspektif Tri Kerangka Dasar agama Hindu di Desa Pakraman Alasngandang.
2.2 Landasan Konsep
Konsep merupakan suatu pengertian yang harus terlebih dahulu dipahami di dalam suatu penelitian ilmiah. Landasan konsep merupakan teori-teori baku yang digunakan sebagai landasan dasar di dalam menjawab semua permasalahan yang diajukan. Konsep sangat perlu ada dalam sebuah penelitian agar penelitian tesebut mempunyai dasar yang kokoh dan mendapatkan hasil yang ilmiah (Sugiyono, 2007 : 81).
Landasan konsep dalam penulisan ini memuat uraian sistematis tentang pemikiran yang ada hubungannya dengan penelitian yang dilakukan. Penulis mencari pengertian-pengertian atau konsep-konsep yang relevan dengan variabel-variabel yang menjadi topik penelitian ini, sehingga diperoleh pemahaman yang komprehensif terhadap permasalahan yang dikemukakan berturut-turut yaitu tentang (1). Persembahyangan (2). Purnama Tilem (3). Pura Kahyangan Tiga (4). Desa Pakraman (5). Perspektif (6). Tri Kerangka Dasar Agama Hindu.
Kata “Persembahyangan” merupakan kata dasar dari sembah dan Hyang. Kata “Sembah” berasal dari bahasa Jawa Kuno yang memiliki arti “menyayangi, menghormati, memohon, menyerahkan diri dan menyatukan” Sedangkan kata “Hyang” artingan suci. Dengan demikian Sembahyang berarti menyembah yang suci, diantara yang suci itu, yang maha suci adalah Tuhan Yang Maha Esa. Hakekat sembahyang sebagai langkah awal untuk dapat mendayagunakan kepercayaan dan bhakti umat kepada Tuhan untuk meningkatkan harkat dan martabat kehidupan manusia (PHDI, 2009 : 1).
Pada Kenyataannya semua agama mengajarkan uamatnya memuja Tuhan secara individu dan dengan cara bersama-sama. Sembahyang sendiri (individual) disebut Ekanta dan sembahyang dengan bersama-sama atau kelompok disebut dengan Samkirtanam. Karena manusia pada hakekatnya memiliki dua dimensi yaitu manusia sebagai makhluk individu dan manusia sebagai makhluk sosial. Dalam Persembahyangan bersama sifat dan karakter manusianya berbeda-beda seperti bersifat sattwam, rajasika dan tamasika (PHDI, 2009 :2)
Persembahyangan disini memiliki pengertian yang cukup luas, yaitu melakukan pemujaan dan penghormatan kepada Dewa atau Tuhan Yang Maha Esa (Ida Sang Hyang Widhi Wasa) atau kepada sesuatu yang suci dalam hal ini adalah persembahyangan purnama tilem dalam perspektif Tri Kerangka Dasar agama Hindu.
Kata Purnama berasal dari kata “purna” yang artinya sempurna. Purnama dalam kamus umum Bahasa Indonesia berarti bulan yang bundar atau sempurna (tanggal 14 dan 15 kamariah). Sedangkan Tilem artinya bulan mati atau gelap. Pada hari Purnama yang beryoga adalah Sang Hyang Candra (Sang Hyang Wulan) yang merupakan hari penyucian Sang Hyang Rwa Bhineda yaitu Sang Hyang Surya dan Sang Hyang Wulan. Sedangkan pada hari Tilem yang beryoga adalah Sang Hyang Surya, yang sekaligus merupakan hari penyucian Sang Hyang Rwa Bhineda yaitu Sang Hyang Surya dan Sang Hyang Wulan. Pada waktu Candra Graha (gerhana bulan) pujalah beliau dengan Candra Sthawa (sama Sthawa). Pada waktu Surya Graha (gerhana matahari) pujalah beliau dengan Surya Cakra (Bhuana Sthawa) (Niken Tambang 2004 : 6).
Hari purnama tilem datang setiap 15 hari. Dari hari purnama mencari tilem ada 15 Panglong atau 15 hari, sedangkan dari hari tilem mencari Purnama ada 15 Penanggal atau 15 hari. Dari purnama mencari purnama kembali lamanya 30 hari, begitu juga dari tilem mencarai tilem kembali lamanya 30 hari. Sehari setelah purnama sampai tilem disebut Panglong, sedangkan sehari setelah tilem sampai purnama disebut Penanggal. Sehari sebelum hari purnama disebut dengan Purwanining Purnama (Penanggal 14), sedangkan sehari sebelum hari tilem disebut dengan Purwanining Tilem (Panglong 14). Hal inilah yang perlu diperhatikan dan di ingat dalam menentukan hari-hari suci yang terletak pada Purnama Tilem tersebut.
Istilah pura berasal dari kata “pur” yang artinya kota, benteng, atau kota yang berbenteng. Pura berarti suatu tempat yang khusus dipakai untuk dunia kesucian dengan dikelilingi atau dibentengi dengan tembok atau pagar untuk memisahkan dengan dunia di sekitarnya yang dianggap tidak suci. Istilah Pura dipergunakan sebagai tempat pemujaan umat Hindu di Bali (Oka Netra, 1994: 83-84).
Sebelum dikenal istilah Pura, untuk menunjukkan tempat pemujaan Hindu di Bali dikenal istilah Kahyangan atau Hyang bahkan pada zaman Bali kuno dipakai istilah “Ulon” yang berarti tempat suci atau tempat yang dipakai untuk berhu8bungan dengan Ketuhanan. Hal ini dimuat dalam Prasasti Sukawana AI (Th. 882 M). demikian pula Prasasti Pura Kehen menyebutkan istilah Hyang. Menurut Lontar Usana Dewa Mpu Kuturan lah yang mengajarkan umat Hindu di Bali membuat Kahyangan Dewa seperti cara membuat pemujaan Dewa di Jawa timur.
Dalam bukunya Sumantra (166 : 2009) menjelaskan bahwa, Kahyangan atau Prahyangan berasal dari kata Hyang (biasanya dihubungkan dengan Sang, Dang), merupakan kata sandang yang ditempatkan didepan sesuatu yang simuliakan, di hormati. Sedangkan Menurut Tim Penyusun Buku Pelajaran Agama Hindu untuk SMU Kahyangan adalah Tempat pemujaan Tuhan oleh umat Hindu di Indonesia khususnya di Bali dan kata Tiga mempunyai arti nama bilangan bagi lambing bilangan asli 3 jadi pengertian Pura Kayangan Tiga dalam kaitannya dengan penelitian ini adalah tempa suci umat Hindu yang difungsikan untuk melaksanakan pemujaan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam prabhawanya atau manefestasinya sebagai Tri Wisesa atau Tri Murti. Jenis Pura yang tergolong dalam Pura Kayangan Tiga adalah
2.2.4. Desa Pakraman
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa desa adalah :
Sedangkan menurut Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman, menyebutkan Desa Pakraman adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Provinsi Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan Khayangan Tiga atau Khayangan Desa yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri. Dalam satu Desa Pekraman bisa terdiri dari satu atau lebih Banjar Pekraman.
Tjokorda Raka Dherana (1982:36) dalam bukunya yang berjudul “Pembinaan Awig-Awig Desa Pakraman Dalam Tertib Masyarakat” mengatakan bahwa istilah desa mengandung dua pengertian, yaitu:
Desa Pakraman dalam pengertian ini menunjuk kepada suatu wilayah yang dihuni oleh penduduk yang beragama Hindu, kecuali di beberapa desa dalam kota atau desa-desa yang terletak di pinggir pantai yang penduduknya sudah heterogen dan terdiri dari berbagai umat beragama. Di Bali sekarang ini konsep desa mengandung dua pengertian. Pertama, desa sebagai komunitas yang bersifat sosial, religius, tradisional, adalah satu kesatuan wilayah di mana para warganya secara bersama-sama atas tanggungan bersama mengkonsepsikan dan mengaktifkan upacara-upacara keagamaan, kegiatan-kegiatan sosial yang ditata oleh sistem budaya. Organisasi desa dalam pengertian ini disebut Desa Pakraman. Rasa kesatuan sebagai Desa Pakraman diikat oleh faktor Tri Hita Karana, yaitu:
Kedua desa sebagai komunitas yang lebih bersifat administratif atau kedinasan, yaitu satu kesatuan wilayah di bawah kecamatan dan dikepalai oleh seorang Kepala Desa atau Perbekel. Organisasi desa dinas disatukan oleh adanya kesatuan fungsi yang dijalankan oleh desa sebagai kesatuan administratif (Dherana,1982: 19).
Menurut Peraturan Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Bali Nomor 6 Tahun 1986 Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Fungsi dan Peranan Desa Pakraman sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Pakraman dalam Propinsi Daerah Tingkat I Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan Khayangan Tiga (Khayangan Desa), yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri.
Adapun desa-desa di Bali telah mempunyai pemerintahan sendiri, memiliki aturan-aturan tata krama yang dibuat serta berlaku bagi seluruh warga desa. Segala sesuatu yang berhubungan dengan desanya, terutama dalam usaha untuk menegakkan Pakraman, kewajiban warga desa terhadap wilayah pemukimannya terhadap sesama warga desa dan terhadap sesama agamanya serta larangan-larangan, dan keharusan-keharusan yang harus dipatuhi oleh warga desa, semuanya itu ditentukan oleh warga desa itu sendiri dalam bentuk aturan-aturan yang tidak tertulis, maupun tertulis dan dinamakan dresta, sima, awig-awig, loka cara, Batur dresta dan lain sebagainya.
Aturan-aturan ini sebagian tidak tertulis, tetapi dipahami oleh warga Desa Pakraman serta dipatuhi. Oleh karena isi dari aturan-aturan tersebut, disarikan dari nilai budaya warga desa yang bersangkutan atas dasar kepatuhan dari para leluhurnya secara turun temurun. Perubahan-perubahan peraturan Pakraman biasanya terjadi secara evolusi dan alamiah sejalan dengan perubahan-perubahan nilai budaya yang terdapat di kalangan warga desa itu sendiri.
2.2.5 Perspektif
Kamus Besar Bahasa Indonesia mengatakan bahwa kata perspektif berarti sudut pandang atau pandangan (Tim Penyusun 2001:760). Sedangkan Echols (dalam Dika, 2008:18) istilah perspektif berasal dari Bahasa Inggris, yaitu “perspective”, yang artinya sebenarnya. Perspektif adalah sudut pandang dimana sesuatu dilihat, gambaran tentang apa yang mungkin atau apa yang bermakna dalam proses menyusun dan memecahkan suatu masalah (Posrwadarmita,1991 :834). Perspektif digunakan untuk mengkaji masalah dari sudut pandang tertentu demi tercapainya pendapat yang khusus atau mendalam.
Menurut beberapa pengertian dalam kamus Filsafat (Tim Penyusun, 2000:834) prespektif memiliki pengertian :
Bertitik tolak dari kutipan di atas maka prespektif adalah suatu sudut pandang atau gambaran dari sesuatu dalam hal ini adalah Persembahyangan Purnama tilem di Pura Kahyangan Tiga Desa Pakraman Alasngandang dalam ajaran Tri Kerangka Dasar Agama Hindu.
Tri Kerangka Dasar Agama Hindu merupakan tiga konsep yang mendasari ajaran Agama Hindu tersebut. Barang siapa ingin mendalami dan mempelajari Agama Hindu tersebut hendaknya memahahami betul ketiga kerangka dasar Agama Hindu itu. Ketiga konsep kerangka dasar agama Hindu tersebut antara lain : Tattwa atau filsafat agama Hindu, susila atau etika agama Hindu, ritual atau upacara agama Hindu (Suhardana 2006 : 6).
Tattwa, etika dan ritual dapat di ibaratkan dengan sebutir telur. Dimana kuning telur atau sarinya merupakan aspek tattwa atau Filsafatnya, dan putih telur merupakan aspek dari susila atau etikanya, sedangkan kulit dari telur merupakan aspek dari ritual atau upacaranya. Telur akan menetas dengan sempurna apabila ketiga komponen dari kuning telur, putih telur dan kulitnya berfungsi dengan baik. Begitu juga pada agama Hindu yang akan berjalan dengan baik dan benar apabila dalam melaksanakan aktivitas keagamaannya selalu disertai dengan upacara, etika dan tentu saja berdasarkan tattwa yang benar. Sehingga apa yang menjadi tujuan dari agama tersebut dapat tercapai sesuai dengan kepercayaan umat Hindu (Sudharta, 2007 : 5).
Ketiga aspek diatas merupakan suatu kesatuan yang utuh dan tidak dapat dipisahkan. Karena itu ketiga kerangka dasar agama tersebut harus dipahami benar, mengingat ketiganya saling berkaitan. Memahami atau tidak memahami salah satu aspek, dapat mengakibatkan pemahaman terhadap agama Hindu menjadi tidak lengkap dan bahkan bisa mengaburkan atau memberi pengertian yang keliru terhadap agama Hindu. Oleh karenanya, barang siapa ingin mempelajari agama Hindu hendaknya mendalami ketiga hal tersebut. Sehingga dapat disimpulkan bahwa ketiga hal tersebut saling melengkapi, saling keterkaitan dan tentu saja tidak dapat dipisah-pisahkan.
Bagi umat Hindu sendiri, memahami dan mendalami ketiga aspek termaksud diatas tentu akan menjadi sangat penting. Janganlah berpegang kepada salah satu aspeknya saja misalnya aspek upacaranya. Usahakanlah mempelajari, menghayati dan mengamalkan bukan saja aspek upacaranya, tetapi juga aspek tattwa dan susilanya. Dengan demikian akan terdapat keseimbangan dalam pemahaman dan pelaksanaannya baik upacara, tattwa maupun susilanya.
Aspek tattwa atau filosofinya merupakan inti ajaran agama Hindu, sedangkan aspek susila dan etikanya merupakan pelaksanaan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari. Aspek upacara dan ritualnya merupakan pengorbanan suci yang tulus ikhlas kehadapan Ida Sang Hyang Widhi atau yang bisa dikatakan yadnya. Ketiga aspek tersebut harus dilaksanakan secara baik dan seimbang demi terwujudnya agama Hindu tersebut dalam aktivitas keagamaan sehari-hari (Sudharta, 2007 : 4).
2.3 Teori
Dalam bukunya Sugiyono (2007 : 52) menjelaskan bahwa, Teori adalah seperangkat konstruk (konsep), definisi dan proposisi yang berfungsi untuk melihat fenomena secara sistematik, melalui sfesifikasi hubungan antar variabel, sehingga dapat berguna untuk menjelaskan dan meramalkan suatu fenomena. Teori dimaksudkan sebagai sesuatu yang mengandung prinsip dasar yang berlaku umum yang memberikan kerangka orientasi untuk analisis dan klasifikasi. Kerangka orientasi yang dimaksudkan adalah kerangka pikiran yang dirumuskan dengan jelas sebagai tuntunan untuk memecahkan masalah penelitian. Teori yang dipakai dalam penelitian ini antara lain : Teori Interaksionisme Simbolik dan Teori Religi.
2.3.1 Teori Interaksionisme simbolik
Teori Interkasionisme Simbolik menurut Bogda dan Taylor mengemukakan orang senantiasa berada dalam suatu interpensi dan defenisi karena mereka harus terus menerus bergerak dari satu situasi lain sebuah situasi fenomena akan bermakna apabila ditafsirkan dan didefenisikan (Suprayoga, 2001 : 105). Orang dengan potensi yang dimiliki dianggap mampu menjadi obyek untuk dirinya sendiri dan sebagai subyek yang mampu melihat tindakan-tindakan seperti orang lain melihatnya. Dengan kata lain manusia dapat membayangkan serta sadar diri dari perlakunya dari sudut orang lain. Dengan demikian manusia mengkontruksi perilakunya dengan membangkitkan respon tertentu dari orang lain karena manusia adalah pelambang bermakna.
Tindakan perilaku seorang sekelompok orang tergantung pada bagaimana mendefenisikan lingkungannya dan mendefenisikan dirinya. Peranan sosial nilai, norma dan tujuan bahkan yang membentuk kondisi dan tanggung jawab perbuatan. Simbol adalah suatu hal atau keadaan yang merupakan pengantaran pemahaman terhadap obyek. Manifestasi serta karakteristik simbol tidak terbatas pada isyarat fisik tetapi dapat juga berwujud penggunaan kata-kata, yakni simbol suara, yang mengandung arti bersama serta bersifat standar. Singkatnya simbol berfungsi memimpin pemahaman obyek kepada obyek. Dalam makna tertentu bernilai dalam kehidupan suatu masyarakat (Triguna, 2000 : 7). Simbol berfungsi sebagai perwujudan statis sosial seseorang semakin beraneka ragam simbol yang dapat digunakan atau melekat pada seseorang semakin tinggi status sosial yang bersangkutan. Akibat simbol acapkali dipandang sebagi alat melegitimasikan status social. Dalam kontek ini sibolisme pada masyarakat Hindu, simbol juga syarat dengan makna status dan peranan itulah sebabnya pada masyarakat Hindu simbol dipandang identitas individu atau kelompok.
Menurut Blumer (1962 : 50) salah seorang tokoh aliran ini menyatakan bahwa mutiara interaksionisme simbolik menunjukkan keadaan sifat khas dari interkasi antara mausia yang diantarnya oleh pengguna simbol-simbol serta interkasi terhadap simbol-simbol.
Kajian simbol terkait dengan penelitian ini sebagai tanda persembahan. Hal ini menunjukkan betapa universalnya penggunaan simbol dalam kehidupan manusia. Proses upacara dalam agama Hindu menggunkan banyak simbol. Dalam penelitian ini simbol-simbol salah satunya dapat dilihat dalam wujud upakara atau sarana dalam ritual agama Hindu yang terkandung dalam ajaran Tri Kerangka Dasar Agama Hindu pada persembahyangan Purnama Tilem di Pura Desa Pakraman Aalasngandang. Wujud dari sarana merupakan perwujudan penyerahan diri atau keihklasan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang terbentuk sedemikian rupa yang berisikan seluruh hasil ciptaan Tuhan yang terdiri dari hasil bumi.
2.3.2. Teori Religi
Religi adalah suatu sistem kepercayaan yang dianut oleh masyarakat tradisional. Religi adalah segala sistem tingkah laku manusia untuk mencapai suatu maksud dengan cara menyadarkan diri kepada kemauan dan kekuasaan mahluk-mahluk halus seperti roh-roh, dewa-dewa, dan sebagainya yang menempati alam. (Koentjaraningrat, 1997 : 53-54).
Menurut Koentjarani ngrat (dalam Yudha Triguna, 2000 : 75), menguraikan: “banyak teori yang mencoba menerangkan bagaimana asas religi pada berbagai suku bangsa di dunia terjadi. Macam-macam teori tersebut bila diklasifikasikan, maka akan tampak empat kategori besar, yaitu (1) Teori religi yang dalam pendekatannya beroriantasi pada keyakinan relegi. (2) Teori-teori yang dalam pendekatannya berorintasi kepada sikap manusia terhadap alam gaib atau hal yang gaib. (3) Teori-teori yang dalam pendekatannya berorientasi kepada upacara relegi, dan (4) teori yang dalam pendekatannya menggunakan kombinasi ketiga poin di atas.
Teori religi menjelaskan bahwa ada satu hal yang selalu ada dalam segala macam gagasaan dan perilaku keagamaan mahluk manusia yaitu perasaan bahwa hal-hal yang bersangkutan dengan religi atau agama itu bersifat keramat, berbeda dengan hal-hal yang tid ak bersangkutan dengan religi atau agama, yaitu yang bersifat provane. Dengan demikian sampai pada suatu sistem berkaitan dari keyakinan-keyakinan dan upacara-upacara yang keramat Koentjaraningrat,(1980 : 94-95).
Koentjaraningrat, (1997 : 194-195) teori Taylor yang terpenting menyebutkan bahwa perilaku manusia yang bersifat religi itu terjadi karena (1) Manusia mulai sadar akan adanya konsep roh. (2) Manusia mengakui adanya berbagai gejala yang tak dapat dijelaskan dengan akal. (3) Keinginan manusia untuk mengahapi berbagai krisis yang senantiasa dialami manusia dalam daur hid upnya. (4) Kejadian-kejadian luar biasa yang dialami manusia di alam sekelilinghnya. (5) adanya getaran (yaitu emosi) berupa rasa kesatuan yang timbul dalam jiwa manusia sebagai warga masyarakatnya. (6) manusia menerima suatu firman dari Tuhan
Teori Religi dalam penelitian ini pendekatannya berorientasi kepada upacara religi yaitu pada persembahyangan purnama tilem di pura Desa Pakraman Alasngandang dalam penerapan ajaran Tri Kerangka Dasar Agama Hindu. Teori ini juga dipergunakan dalam penelitian ini karena adanya pembahasan yang mendalam terhadap keyakinan religi masyarakat di Desa Pakraman Alasngandang terutama dalam melaksanakan persembahyangan purnama tilem tersebut.
2.3.3. Teori Nilai
Menurut Hartono dan Hunt (dalam Metriani, 2008 : 35), nilai adalah gagasan mengenai apakah suatu pengalaman itu berarti atau tidak berarti. Nilai pada hakekatnya mengarahkan perilaku dan pertimbangan seseorang tetapi tidak mengalami apakah sebuah perilaku dan pertimbangan seseorang tetapi tidak menghakimi apakah sebuah perilaku tertentu itu salah atau benar. Sedangkan menurut John Dewey dalam teori pragmatisme, nilai pandangan sebagai perbuatan pemberi nilai dikaitkan dengan keginaannya, sesuatu yang menjadikannya nilai sama dan berguna. Nilai dalam kehidupan sosial dikaitkan sebagai objek dari cita-cita atau tujuan bersama yang telah disetujui oleh masyarakat. Nilai itu dimaksudkan sebagai kemampuan yang mendasar kemakmuran bersama (Djunaidi, 1982:16).
Teori nilai dalam penelitian ini dipergunakan untuk membahas dan memecahkan penerapan nilai-nilai yang terdapat dalam persembahyangan Purnama Tilem di Pura Kahyanga Tiga Desa Pakraman Alasngandang Alasngandang, Kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem.
Bagan 1.
Model Penellitian
Penjelasan Bagan :
Agama Hindu tidak dapat lepas dari Tri Kerangka Dasar Agama Hindu, yaitu Tattwa, Susila, dan Upacara. Tattwa merupakan inti terdalam dari segala rangkaian bentuk persembahan dan kegiatan umat manusia kepada Tuhan Yang Maha Esa. Susila merupakan etika atau tata cara melakukan persembahan dan kegiatan yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa. Sedangkan Ritual merupakan bentuk persembahan dan kegiatan upacara umat Hindu kepada Tuhan Yang Maha Esa. Ketiga aspek ini merupakan satu-kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Ketiganya harus dilaksanakan secara seimbang dalam melakukan setiap kegiatan Agama Hindu khususnya pada persembahyangan purnama tilem di Pura Kahyangan Tiga Desa Pakraman Alasngandang. Jika dalam pelaksanaan upacara tersebut sudah menerapkan ajaran tattwa yang benar, susila yang baik serta ritualnya yang sesuai dalam perspektif Tri Kerangka Dasar Agama Hindu tersebut, maka masyarakat Desa Pakraman Alasngandang dapat meraih kehidupan yang harmonis sekala dan niskala. Dalam persembahyangan purnama tilem tersebut terdapat nilai-nilai pendidikan berupa nilai pendidikan sosial religius, nilai pendidikan sosial budaya dan nilai pendidikan sosial ekonomi.
METODE PENELITIAN
Penyusunan suatu karya ilmiah diperlukan sutu metode ilmiah pula, sebab berhasil tidaknya suatu penelitian sebagian besar ditentukan oleh ketetapan metode yang diperlukan dalam penelitian tersebut, sehingga nantinya diharapkan hasil yang akan atau hendak dicapai dalam penelitian itu dapat dipertanggung jawabkan keberadaanya. Metode memegang peranan yang sangat penting dalam menyusun suatu karya ilmiah. Metode adalah cara yang teratur dan signifikan untuk pelaksanaan sesuatu (Budiono, 2005: 44).
Mengingat betapa pentingnya metode itu , dalam penyusunan karya ilmiah ini peneliti mempergunakan beberapa teknik yaitu : menentukan lokasi penelitian, jenis penelitian, data dan sumber data, teknik penentuan informan, teknik pengunpulan data, metode analisis data.
3.1 Lokasi Penelitian
Jenis penelitian ada dua yaitu : penelitian kualitatif dan penelitian kuantitatif. Penelitian kuantitatif mengukur objek dengan suatu perhitungan, dengan angka, prosentase, statistik atau bahkan dewasa ini dengan komputer sehingga penekanannya pada metode kuantitatif, sedangkan penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah, dimana peneliti adalah sebagai instrumen kunci (Sugiyono, 2005 : 12). Ardika dalam makalahnya tentang metode penelitian kualitatif menyatakan bahwa metode penelitian kualitatif mengacu pada strategi penelitian yang menghasilkan data atau bahan keterangan deskriptif mengenai makna dari suatu benda, tindakan, dan peristiwa-peristiwa yang terkait dalam kehidupan sosial masyarakat. Mengacu pada pengertian tersebut, maka jenis pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif, mengingat permasalahan yang ingin diangkat merupakan masalah sosial keagamaan.
Penelitian ini menyajikan data atau keterangan yang mendeskripsikan tentang penerapan ajaran Tri Kerangka Dasar Agama Hindu yang dilaksanakan dalam persembahyangan purnama tilem. Mulai dari ajaran tattwa, etika, susila serta dampak yang ditimbulkan dari ajaran tersebut.
Data merupakan sumber keterangan-keterangan tentang satu hal. Sebelum digunakan dalam proses analisis, data itu perlu dikelompokkan terlebih dahulu (Iqbal, 2002 : 82). Berdasarkan pengambilannya, data dibedakan menjadi dua yaitu: data primer dan data sekunder.
3.3.1. Data Primer
Data Primer adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan langsung di lapangan oleh orang yang melakukan penelitian atau yang bersangkutan yang memerlukannya. Data primer juga disebut data asli atau data utama (Iqbal, 2002: 167). Dalam hal ini yang menjadi data primer adalah berupa informasi yang diperoleh langsung seperti : tokoh agama, seperti seluruh pemangku Kahyangan Tiga di Desa Pakraman Alasngandang dan masyarakat terkait yang dijadikan sebagai informan kunci untuk mendapatkan informasi yang akurat sehingga data yang diperoleh semakin jelas mengenai persembahyangan purnama tilem.
3.3.2. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan oleh orang yang melakukan penelitian dari sumber-sumber lain yang telah ada, seperti buku-buku sebagai penunjang yang isinya berkaitan dengan topik penelitian. Data ini biasanya diperoleh dari perpustakaan atau dari laporan-laporan penelitian sebelumnya (Iqbal, 2002 : 167). Data sekunder yang dipakai dalam penelitian ini adalah dari buku-buku yang menyangkut ajaran Tri Kerangka Dasar Agama Hindu, persembahyangan dan beberapa penelitian sebelumnya yang terkait. Dalam pembahasannya, data primer dan data sekunder akan dipadukan agar didapatkan data yang benar-benar valid.
Penelitian yang dilakukan menggunakan informan sebagai sumber informasi atau orang yang memiliki kompetensi untuk menyampaikan data dan informasi. Penelitian kualitatif erat kaitannya dengan faktor-faktor kontekstual. Informan yang dimaksud dalam penelitian adalah sumber data dan informasi yang hasilnya akan bermanfaat dalam proses analisis, sehingga berguna bagi pembentukan konsep dan proposisi sebagai temuan penelitian (Bungin, 2001 : 206).
Sampling adalah suatu cara pengumpulan data untuk dijadikan objek penelitian (Cholid Narbuko, Abu Achmadi, 2002 : 146 dalam Suwitrayasa, 2008 : 25). Memperhatikan hal tersebut, agar penelitian lebih efektif maka dalam penelitian ini menggunakan teknik sampling, karena dengan menggunakan teknik sampling dapat menghindarkan pemborosan mengenai waktu, dana, dan tenaga, sehingga penelitian yang dilakukan dapat berlangsung lebih efektif.
Pengambilan terhadap siapa yang menjadi anggota sampel didasarkan atas teknik-teknik sampling yang berbeda-beda. Berdasarkan pada aturan cara pengambilan subjek yang akan menjadi anggota sampel, suatu teknik sampling itu dapat dibedakan menjadi 2 (dua) jenis yaitu : 1) Sampling tanpa pilih-memilih (random sampling), 2) Sampling dengan pilih-memilih (non random sampling). Dan sesuai dengan kondisi dan tujuan penyelidikan, maka jenis sampling subyek dapat dibedakan menjadi 4 (empat) jenis yaitu : 1) Propotional Sampling, 2) Stratified Sampling, 3) Purposive Sampling, dan 4) Quota Sampling. Apabila teknik sampling yang dipergunakan itu menggunakan kedua aturan itu, maka dikenal dengan teknik sampling rangkap (combined sampling).
Dalam penelitian ini teknik sampling yang dipergunakan adalah purposive non random sampling, yakni penggabungan antara teknik purposive sampling dengan teknik non random sampling. Dalam metodologi penelitian disebutkan bahwa : “ purposive sampling atau sampling menurut tujuan adalah cara pengambilan sampel berdasarkan pada ciri-ciri atau sifat-sifat tertentu yang diperkirakan mempunyai sangkut paut erat dengan ciri-ciri atau sifat-sifat yang ada dalam populasi yang sudah diketahui sebelumnya”. Sedangkan yang dimaksud dengan teknik non random sampling adalah “cara pengambilan sampel yang tidak semua anggota populasi diberi kesempatan untuk dipilih menjadi sampel (Cholid Narbuko, Abu Achmadi, 2002 : 114-116 dalam Suwitrayasa, 2008 : 26). Jadi tidak semua anggota sampel yang diberi kesempatan menjadi sampel yaitu hanya terbatas pada subjek-subjek yang dikenal saja.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka yang menjadi dasar penggunaan anggota sampel dengan menggunakan purposive non random sampling berdasarkan pada ciri-ciri atau sifat-sifat. Suatu populasi yang telah diketahui sebelumnya, seperti : tokoh-tokoh masyarakat, pemuka-pemuka masyarakat, dan orang-orang yang memiliki kompeten dibidang apa yang akan diteliti sehingga dapat memberikan informasi yang benar dan sesuai dengan apa yang dikaji dalam penelitian ini yaitu penerapan ajaran Tri Kerangka Dasar Agama Hindu Dalam Persembahyangan Purnama Tilem di Desa Pakraman alasngandang Kecamatan Rendang Kabupaten Rendang sehingga data dan fakta yang diharapkan dalam penelitian ini benar-benar valid.
Metode pengumpulan data adalah suatu metode yang khusus dipergunakan sebagai alat untuk mencari dan memperoleh data. Metode pengumpulan data adalah cara-cara yang dapat digunakan untuk mengumpulkan data. Suatu teknik atau cara untuk mendapatkan keterangan secara benar dan nyata diperlukan dalam penyusunan sebuah karya ilmiah (Sugiyono, 2007 : 90).
Dalam penelitian kualitatif, pengumpulan data lazimnya menggunakan observasi dan wawancara atau dengan menggunakan sumber lain seperti catatan-catatan kepustakaan. Untuk mendukung jalannya penelitian nanti, ada beberapa hal yang perlu dipersiapkan yaitu dengan menyiapkan instrumen penelitian yang diartikan sebagai “alat bantu” merupakan sarana yang dapat diwujudkan dalam benda. Misalnya berupa pedoman wawancara, lembar pengamatan, mempersiapkan sumber-sumber data seperti buku-buku, arsip dan untuk lebih mantapnya diambil beberapa gambar atau foto dari pelaksanaan Persembahyangan Purnama Tilem di Pura Desa Pakraman Alasngandang, Desa Pempatan, Kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem. Adapun Tehnik pengumpulan data yang penulis gunakan mencakup :
3.5.1 Observasi
Observasi merupakan suatu tehnik pengumpulan data yang dilakukan oleh peneliti untuk mencatat kejadian atau peristiwa dengan cara menyaksikannya (Soehardi, 2001 : 96) Observasi disebut juga dengan pengamatan, meliputi kegiatan pemusatan perhatian terhadap sesuatu objek dengan menggunakan seluruh alat indra.
Dalam penelitian ini dimaksudkan, untuk terjun langsung mengamati dan mengumpulkan data lapangan yang berkaitan dengan penerapan ajaran Tri Kerangka Dasar Agama Hindu dalam persembahyangan purnama tilem baik dari tattwa, etika serta sarana upakara yang digunakan pada perosesi ritualnya.
3.5.2 Studi Kepustakaan
Studi kepustakaan adalah suatu cara untuk memperoleh data dengan jalan mengadakan penelitian kepustakaan, seperti melalui membaca, menulis, mengutip materi yang berhubungan dengan skripsi ini. Cara menulis dan mengutip materi dari kepustakaan disebut studi kepustakaan (Mukajir, 1990 : 64).
Tujuan dari metode Kepustakaan adalah untuk lebih mengetahui secara detail dan memberikan kerangka berpikir, khususnya referensi relevan yang berasal dari buku-buku, memberikan gambaran secara lengkap dengan menggunakan sumber atau penelusuran kepustakaan untuk mendapatkan informasi secara lengkap untuk menentukan tindak lanjut dalam mengambil langkah penting dalam kegiatan ilmiah diantaranya adalah buku utama dan buku penunjang.
Penelitian ini dilakukan dengan membaca, mempelajari dan mengutif hasil-hasil yang telah dipublikasikan menjadi buku-buku, majalah dan penelitian yang berhubungan dengan ajaran Tri Kerangka Dasar Agama Hindu serta tuntunan dalam tata cara bersembahyang pada purnama tilem.
3.5.3. Wawancara
Wawancara adalah tehnik pengumpulan data dengan mengajukan pertanyaan langsung oleh pewawancara kepada responden, dan jawaban – jawaban responden tersebut dicatat atau direkam (Iqbal, 2002 : 85). Wawancara merupakan suatu cara untuk mengumpulkan data dengan jalan tanya jawab sepihak yang dikerjakan dengan sistematik dan berlandaskan kepada tujuan penelitian. Kegiatan ini adalah suatu proses interaksi dan komunikasi.
Jadi pengertian wawancara dapat disimpulkan sebagai suatu metode pengumpulan data yang dilakukan untuk mendapatkan informasi secara langsung atau lisan dengan mengungkapkan pertanyaan-pertanyaan pada para responden. “Responden” artinya orang yang memberikan jawaban dari pertanyan, daftar check atau lajur wawancara untuk mencegah kemungkinan mengalami kegagalan memperoleh data yang penting (data yang dibutuhkan). Teknik pelaksanaan wawancara meliputi menentukan waktu yang paling tepat untuk dilakukan wawancara, menentukan responden, dan mencatat langsung hasil wawancara.
Teknik pelaksanaan yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya :
Dokumentasi merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu. Dokumen bisa berbentuk tulisan, gambar, atau karya-karya monumental dari seseorang. Misalnya : cerita, biografi, foto, gambar, karya seni, film dan sebagainya (Sugiyono, 2005: 82).
Fakta dan data sosial yang tersimpan dalam dokumen merupakan bahan utama penelitian kualitatif. Di dalam melakukan teknik dokumentasi ini penulis mengumpulkan data dengan menggunakan teknik dokumentasi berupa pengambilan foto pelaksanaan persembahyangan yang ada di Pura Desa Pakraman Alasngandang. Dengan adanya foto ini, diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai bagaimana pelaksanaan persembahyangan tesebut.
Analisis data adalah serangkaian pengacakan data yang dikumpulkan dari lapangan menjadi seperangkat informasi atau hasil, baik dalam bentuk temuan-temuan baru, maupun temuan-temuan untuk penyajian hipotesis. Cara menggunakan analisis data ini yaitu dengan mengamati, memahami, dan menafsirkan setiap fakta atau data yang telah dikumpulkan serta hubungan di antara fakta-fakta atau variable merupakan terkait dalam hipotesis (Sugiyono, 2007 : 244).
Analisis data dilakukan setiap saat pengumpulan data di lapangan secara berkesinambungan. Diawali dengan proses klasifikasi data agar tercapai konsistensi, dilanjutkan dengan langkah abstraksi teoritis terhadap informasi lapangan, dengan mempertimbangkan menghasilkan pernyataan-pernyataan yang sangat memungkinkan dianggap mendasar dan universal (Bungin, 2001 : 106).
Analisis data dalam penelitian ini diawali dengan proses pengumpulan data. Setelah data-data tentang penerapan ajaran Tri Kerangka Dasar Agama Hindu dalam persembahyangan purnama tilem terkumpul, data tersebut disusun secara sistematis dan dianalisis dalam proses reduksi data. Setelah proses reduksi data, hasil analisis data tersebut disajikan dengan metode deskriptif. Bila sudah valid, kemudian dijabarkan dan diperoleh kesimpulan yang menyeluruh tentang penerapan ajaran Tri Kerangka Dasar Agama Hindu dalam persembahyangan purnama tilem di Pura Desa Pakraman Alasngandang.
Reduksi data adalah merangkum data, memilih hal-hal pokok, memfokuskan pada hal-hal penting dan mencari tema beserta polanya, dengan demikian data yang telah direduksi akan memberikan gambaran yang lebih jelas dan mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya. Dengan reduksi data, maka peneliti merangkum dan mengambil data yang pokok dan penting, dan data yang dianggap tidak penting dihilangkan supaya data yang diperoleh menjadi lebih jelas (Sugiyono, 2007 : 247).
Data yang diperoleh dilapangan jumlahnya cukup banyak, untuk itu maka perlu dicatat secara teliti dan rinci. Karena semakin lama peneliti kelapangan, maka jumlah data yang diperoleh semakin banyak, komplek dan rumit. Untuk itulah dilakukan analisis data dengan mempergunakan reduksi data supaya data yang diperoleh semakin jelas mengenai penerapan ajaran Tri Kerangka Dasar Agama Hindu dalam persembahyangan purnama tilem di Desa Pakraman Alasngandang.
Menurut Miles dan Hubermann dalam Nuryani (2006 : 40), menyatakan bahwa, “penyajian data merupakan proses penyajian sekumpulan informasi yang kompleks ke dalam bentuk yang sederhana dan selektif sehingga mudah dipahami maknanya”.
Data tentang subjek penelitian yang peneliti peroleh melalui observasi dan wawancara dengan informan selama penelitian di lapangan selanjutnya di paparkan, kemudian dicari pokok-pokok penting yang terkandung di dalamnya sehingga dapat di ketahui dengan jelas maknanya. Data yang peneliti peroleh selanjutnya diseleksi dan di kode untuk memperoleh konsep yang lebih sederhana sehingga relatif lebih mudah di pahami.
PENYAJIAN HASIL PENELITIAN
Lokasi penelitian ini mengambil tempat di Desa Pakraman Alasngandang, Desa Pempatan, Kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem Provinsi Bali. Berkaitan dengan penelitian ini penulis akan menguraikan beberapa hal, diantaranya sebagai berikut : 1) Sejarah singkat Desa Pakraman Alasngandang, 2) Letak Geografis, 3) Kependudukan, 4) Mata Pencaharian, 5) Pendidikan, 6) Sistem Kepercayaan. Adapun uraiannya sebagai berikut:
Desa Pakraman Alasngandang merupakan salah satu Desa Pakraman yang ada di Desa Pempatan yang dipakai lokasi penelitian dan dipakai objek dalam mencari data terkait dengan masalah-masalah dalam penelitian tentang Persembahyangan Purnama Tilem. Desa Pakraman Alasngandang merupakan komonitas masyarakat yang berada di bawah satu adat dan satu banjar dinas yaitu banjar Alasngandang yang dikepalai oleh seorang kelihan adat (bendesa adat) dan seorang kepala dusun (Kadus).
Desa Pakraman Alasngandang didirikan sekitar tahun 1700-an, yang awalnya adalah kumpulan dari beberapa orang yang datang dari Desa Pakraman Rendang yang sekarang menjadi nama sebuah kecamatan. Kumpulan orang-orang ini datang untuk merabas hutan belantara dengan tujuan dipakai sebagai lahan bercocok tanam atau bertani, maka lama kelamaan orang-orang ini membentuk sebuah sekaa untuk mendirikan Parahyangan sebagai tempat memuja Ida Sanghyang Widhi Wasa. Pura-pura yang dibangun saat itu adalah pasraman Dukuh yang sekarang menjadi pura Dukuh Sakti, membangun pura Ulun Suwi sebagai tempat pemujaan Dewa Sangkara (Dewa tumbuh-tumbuhan) yang sekarang diaci oleh subak abian desa pakraman Alasngandang. Di samping pura Dukuh dan Ulun Suwi (bagi masyarakat Alasngandang disebut pura Penyungsungan), juga mendirikan Pura Kahyangan Tiga yaitu pura Puseh, Bale Agung dan pura Dalem.
Perkumpulan orang-orang atau sekaa lama kelamaan mulai berkembang akhirnya kumpulan orang-orang itu membentuklah sebuah desa dengan beranggotakan 55 KK yang dinamakan desa Wana Sigug sesuai dengan prasasti Dukuh Sakti (dikutif dari monografi desa Alasngandang). Desa Wana Sigug inilah yang sekarang dinamakan Desa Pakraman Alasngandang, yang sesuai dengan makna nama aslinya yaitu, Wana berarti hutan (Bali artinya alas) dan Sigug berarti Ngandang. Jadi nama Alasngandang secara etimologi dan semantiknya berasal dari nama Wana Sigug, dari etimologi kata inilah nama Desa Pakraman Alasngnadang itu terlahir. Karena nama ini dirasakan kurang bagus dan kata sigug memiliki konotasi yang kurang baik dalam bahasa Bali maka Wana Sigug diubah menjadi Alasngandang dengan mempertahankan makna dari kata itu. Desa Pakraman Alasngandang pada awal berdiri hingga sampai sekarangpun Desa Pakraman ini beranggota sebanyak 55 KK ayahan desa yang dipakai sebagai inti dari Banjar Alasngandang dan sampai sekarang jumlahnya tidak pernah berubah atau bertambah dan sekaligus sebagai pokok ayahan desa, sedangkan KK banjar dinasnya sampai saat ini berjumlah sebanyak 220 KK. Jadi bertambahnya KK yang ada di Banjar Alasngandang adalah KK banjar dinasnya sedangkan KK ayahan desanya tetap dari awal sampai saat ini berjumlah 55 KK.
Desa Pakraman Alasngandang yang berjumlah 55 KK inilah dipakai pokok untuk membangun Kahyangan Tiga yaitu pura Puseh, Bale Agung dan Pura Dalem. Ke-55 KK ini yang dipakai patokan ayahan desa sebagai ibunya Banjar Alasngandang. Kenapa dikatakan ibunya Banjar karena desa ayahan yang berjumlah 55 KK inilah yang lebih pertama ada, setelah itu baru terbentuknya Banjar dinas Alasngandang. Dan sebelum terjadi perubahan bahwa segala sesuatu keperluan baik upacara maupun pembangunan pisik terutama pura Puseh, pura Bale Agung dan pura Dukuh Sakti yang bertanggung jawab adalah desa yang berjumlah 55 KK ini, di bawah koordinasi kelian desa. Dengan diubahnya pola lama lewat paruman atau rapat banjar adat maka semua pura yang ada di wilayah banjar adat Alasngandang ditanggung oleh Banjar adat baik biaya upacara maupun pembangunan pura tersebut. Akan tetapi, hal-hal yang berhubungan dengan tanah ayahan masih dipergunakan dresta (aturan) lama seperti iuran pokok desa.
4.1.2 Letak Geografis
Desa Pakraman Alasngandang merupakan salah bagian wilayah dari Desa Pempatan. Desa Pempatan sebuah desa yang berada dalam lingkungan pemerintah kecamatan Rendang, kabupaten Karangasem dan Provinsi Bali. Desa Pempatan yang berbatasan langsung dengan kabupaten Bangli berjarak sekitar 45 km dari ibu kota kabupaten Karangasem yakni Amlapura tepatnya ke arah barat atau desa yang berada di ujung barat kabupaten Karangasem. Sedangkan dari ibu kota provinsi Desa Pempatan berjarak sekitar 55 km ke arah timur kota Denpasar. Secara administrasi.
Untuk menuju ke lokasi Desa Pakraman ini bisa ditempuh dengan kendaraan roda dua maupun roda empat karena jalannya sudah diaspal. Transportasi angkutan umum menuju lokasi sangat lancar karena perkembangan perekonomian masyarakat di Desa Pakraman Alasngandang sangat maju apalagi sekarang berkembang industri kerajinan. Jarak tempuh dari Desa Pakraman Alasngandang dengan pusat pemerintahan adalah sebagai berikut :
1). Jarak ke ibukota kedesaan 3,5 km dengan waktu tempuh 10 menit
2). Jarak ke ibukota kecamatan 6 km dengan waktu tempuh 20 menit
3). Jarak ke ibukota kabupaten 45 km dengan waktu tempuh 60 menit
4). Jarak ke ibukota provinsi 55 km dengan waktu tempuh 90 menit
Desa pakraman Alasngandang memiliki batas-batas alam sebagai berikut :
1). Utara : Kabupaten Bangli
2). Timur : Desa Pakraman Waringin
3). Selatan : Desa Pakraman Pempatan dan Kubakal
4). Barat : Sungai yang merupakan batas barat Kabupaten
Karangasem dan batas timur Kabupaten Bangli.
Desa Pakraman Alasngandang merupakan salah satu naungan dari Desa Pempatan. Desa Pempatan membawahkan sebelas dusun atau banjar dinas yaitu banjar Alasngandang, banjar Pempatan, banjar Kubakal, banjar Putung, banjar Teges, banjar Waringin, banjar Pemuteran, banjar Pule, banjar Puregai, banjar Keladian dan banjar Geliang. Masing-masing banjar atau dusun dinas ini juga merupakan desa pakraman atau desa adat dengan otonomi desanya masing-masing kecuali banjar Keladian yang masih berada di bawah desa Adat/Pakraman Besakih serta masuk dalam wilayah Desa Pakraman Besakih serta berada di bawah adat desa Besakih tetapi secara administrasi masuk perbekelan Pempatan. Ditinjau dari segi alamnya Desa Pakraman Alasngandang merupakan desa dataran tinggi dengan curah hujan rata-rata per tahun 3000 mm.
4.1.3 Kependudukan
Berdasarkan data yang terdapat dalam monografi Desa Pakraman Alasngandang tahun 2009 penduduk Desa Pakraman Alasngandang berjumlah 1045 jiwa dan 220 KK. Sedangkan luas wilayah Desa Pakraman Alasngandang 6 km2 atau 160 Ha. Jumlah penduduk dan luas wilayah ini merupakan modal yang sangat pontensial untuk membangun desa Alasngandang menjadi desa yang maju dan sejahtera sesuai harapan pemerintah utamanya masyarakat Alasngandang. Wilayah Desa Pakraman Alasngandang sesuai dengan pesebaran penduduknya belumlah merata sehingga rumah-rumah penduduk saling berjauhan. Kepemiliki tanah pun tidak merata, ada satu kepala keluarga mengerjakan atau mengolah tnah pertanian 10 are, ada yang 1 ha dan ada beberapa yang melebihi dari 1 ha. Ini yang menyebabkan masyarakat Alasngandang dari pola perekonomiannya tidak seimbang atau merata. Untuk mengetahui jumlah penduduk menurut kelompok umur dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel. 1
Penduduk Menurut Kelompok Umur
NO
|
KELOMPOK UMUR
|
JUMLAH (ORANG)
|
1
|
00 - 04 Tahun
|
63
|
2
|
05 - 06 Tahun
|
40
|
3
|
07 - 12 tahun
|
100
|
4
|
13 - 14 tahun
|
54
|
5
|
15 - 24 tahun
|
178
|
6
|
25 - 54 tahun
|
299
|
7
|
55 ke atas
|
311
|
JUMLAH
|
1045
|
Sumber : Monografi Desa Pakraman Alasngandang 2009
Secara rinci Desa Pakraman Alasngandang terdidiri 220 KK dengan luas wilayah 160 ha yang dibagi menjadi enam Banjar Tempekan yaitu :
1). Banjar tempekan Kaja Kangin berjumlah 30 KK dengan luas wilayah 22 ha.
2). Banjar tempekan Kelod Kangin berjumlah 50 KK dengan luas wilayah 34 ha.
3). Banjar tempekan Tengah berjumlah 31 KK dengan luas wilayah 24 ha
4). Banjar tempekan Kelod Kauh berjumlah 49 KK dengan luas wilayah 23 ha.
5). Banjar tempekan Kaja Kauh berjumlah 31 KK dengan luas wilayah 20 ha.
6). Banjar tempekan Geluwung berjumlah 29 KK dengan luas wilayah 29 ha.
Di samping dipilah menjadi enam banjar tempekan desa pakraman Alasngandang juga memiliki organisasi yang lengkap sesuai dengan paruman desa yang mengombinasikan antara unsur tradisi dan modern ( hasil transpormasi sosial yang fundamental dengan visi ke depan) seperti sperti ada organisasi seni yang tergabung dalam sekaa gong, sekaa kidung dan ada organisasi sosial yang tergabung dalam sekaa gae (sekarang dinamai sekaa macaru). Selanjutnya para yogya dan ngawi wenang Desa Pakaraman Alasngandang atau yang berwenang dalam memutuskan segala sesuatu di Desa Pakraman adalah :
a). Penyarikan desa/ sekretaris
b). Petengen desa/ bendahara
c). Saye tempek/ ketua tempek
d). Pecalang desa/ pengaman di tingkat Desa Pakraman
prajuru Desa Pakraman di atas juga dilengkapi dengan baga-baga (bagian-bagian) yaitu :
a). baga parhyangan
b). baga palemahan
c). baga pawongan
d). baga lembaga arta
e). serta sekretariat tetap
Berdasarkan mata pencaharian masyarakat Desa Pakraman Alasngandang sebagian besar bermata pencaharian petani dan buruh/swasta, pegawai negeri, dagang dan pengerajin, sehingga hampir seluruh masyarakat Desa Pakraman Alasngandang memiliki pekerjaan yang tetap dan berpengasilan yang cukup untuk sehari-hari. Berdasarkan data yang diperoleh dari monografi Desa Pakraman Alasngandang tahun 2009, bahwa mata pencahariannya masyarakat Desa Pakraman Alasngandang dapat dideskripsikan sebagai berikut:
Tabel .2
Mata Pencaharian Penduduk Desa Pakraman Alasngandang
No
|
Mata Pencaharian
|
Jumlah
|
1
|
Buruh tani
|
30 orang
|
2
|
Petani
|
765 orang
|
3
|
Pedagang/wiraswasta
|
25 orang
|
4
|
Pegawai Negeri (PNS)
|
8 orang
|
6
|
Penjahit
|
2 orang
|
7
|
Montir
|
1 orang
|
8
|
Sopir
|
4 orang
|
9
|
Pramuwisata
|
4 orang
|
10
|
Karyawan swasta
|
65 orang
|
11
|
Tukang kayu
|
4 orang
|
Jumlah
|
908 orang
|
Sumber : Monografi Desa Pakraman Alasngandang 2009
Penduduk desa ini hidup dari pertanian yakni 80 % masyarakatnya bertani, 18 % berwirausaha dan 2 % pegawai. Kehidupan masyarakat Alasngandang sangat bergantung pada musim utamanya musim hujan karena bercocok tanam sangat bergantung pada air hujan bahkan untuk keperluan sehari-hari pun misalnya mandi minum juga bergantung pada air hujan. Maka itu masing-masing KK di desa ini pastilah memiliki cubang atau tempat menampung air hujan untuk persediaan di musim kemarau. Jika musim kemarau melanda masyarakat Alasngandang maka untuk mensuplay air untuk keperluan sehari-hari membeli dari mobil-mobil tangki seharga Rp 80.000. Pada umumnya masyarakat Alasngandang lebih cendrung berternak yaitu beternak sapi karena lewat pekerjaan ini perekonomian masyarakat bisa terangkat. Setiap KK yang ada di Desa Pakraman Alasngandang pasti memelihara sapi minimal dua ekor sebagai pekerjaan pokok. Bahkan sampai saat ini di Desa Pakraman Alasngandang banyak lahir kelompok-kelompok ternak yang keberadaannya sangat diperhatikan oleh pemeritah baik pemerintah pusat maupun daerah. Hanya saja sebagai kendalanya bagi masyarakat Alasngandang adalah air. Maka ada istilah yang muncul di masyarakat Alasngandang ” sapi makan sapi” artinya beternak sapi di musim kemarau untuk membeli air keperluan ternaknya harus menjual sapi.
4.1.5. Pendid ikan
Untuk mengetahui tingkat pendidikan Desa Pakraman Alasngandang dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 3.
Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan
NO
|
TINGKAT PENDIDIKAN
|
JUMLAH (ORANG)
|
1
|
SD
|
215
|
2
|
SLTP
|
75
|
3
|
SLTA
|
25
|
4
|
PERGURUAN TINGGI
|
11
|
JUMLAH
|
326
|
Sumber : data statistik Desa Pakraman Alasngandang 2009
Berdasarkan data penduduk menurut tingkat pendidikan pada tabel di atas maka dapat dilihat bahwa pendidikan di Desa Pakraman Alasngandang masih tergolong rendah. Hal ini dapat dilihat dari jumlah penduduk yang tamat pendidikan di atas SD kurang dari 30%.
Terkait dengan masalah tingkat pendidikan di Desa Pakraman Alasngandang. Tinggi rendahnya tingkat pendidikan sangat berpengaruh pada perkembangan masyarakat khususnya masyarakat desa pakraman Alasngandang. Selain hal tersebut, tinggi rendahnya pendidikan sesorang akan berekses terhadap status sosial di masyarakat. Intelektualitas suatu masyarakat sangat ditentukan oleh tingkat pendidikannya, maka dari sini salah satu barometer kemajuan suatu desa dapat dilihat, khususnya kemajuan dibidang pendidikan. Sri Hariyati, 1985 dalam Ariani mengatakan bahwa semakin tinggi pendidikan seseorang maka semakin banyak pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki sehingga semakin terbuka pula kesempatan baginya untuk memperoleh pekerjaan.
Desa Pakraman Alasngandang menurut dresta yang ada termasuk desa yang memiliki suatu sistem kepercayaan yang disebut agama. Agama yang dianut oleh masyarakat Desa Pakraman Alasngandang adalah agama Hindu dengan tradisi dan budaya yang masih kuat sebagai suatu bentuk keyakinan. Keyakinan atau religius yang dilaksanakan bagi masyarakat Alasngandang sesuai dengan koridor konsep dasar dari agama dalam hal ini yakni agama Hindu. Konsep dasar yang dimaksud yaitu tattwa atau filosofinya Hindu, susila atau etika Hindu dan upacara atau ritual agama Hindu. Ketiga hal tersebut itulah yang selalu dipakai dasar dan pijakan dalam melakukan aktivitas keagamaanya dan sekaligus sudah menjadi satu napas keagamaan bagi masyarakat Alasngandang. Melakukan yajna adalah aktivitas yang amat penting dalam kehidupan beragama di Desa Pakraman Alasngandang karena didasarkan pada ajaran kitab suci bahwa pentingnya yajna dalam kehidupan umat manusia. Hal ini dikuatkan dalam kitab suci Weda yakni dalam Athawa Weda menyatakan bahwa yajna adalah penyangga bumi, Yayur Weda menguraikan bahwa yajna adalah pusat penciptaan alam semesta (bhuwana Agung). Maka itu ritual keagamaan atau yajna sangat diperhatikan oleh masyarakat Alasngandang dengan tujuan mengharmoniskan alam sekala dengan alam niskala. Di samping itu bisa menyeimbangkan antara bhuana alit dan bhuwana agung agar terjadi keharmonisan (hita) pada diri dan keharmonisan (hita) pada alam semesta.
Agama yang dianut oleh masyarakat Desa Pakraman Alasngandang masih bersifat homogen yaitu seluruh masyarakatnya menganut agama Hindu. Maka sampai saat ini persoalan-persoalan lintas agama tidak pernah terjadi karena kehidupan masyarakatnya masih menganut satu agama yakni Hindu. Keyakinan dalam menjalankan agamanya teralisasi dalam bentuk-bentuk ritual (aci) yang dilaksanakan disetiap pura yang ada di wilayah Banjar Adat Alasngandang atau tempat-tempat yang dianggap sakral atau disucikan seperti tempat perempatan agung (jalan simpang empat) .
Dalam perkembangan selanjutnya Desa Pakraman Alasngandang tetap melestarikan dan mempertahankan hal-hal yang merupakan kuna dresta seperti pemargi aci atau jalannya ritual serta memfungsikan prajuru desa dan kerta desa sebagai tulang punggung mengajegkan dresta dan tradisi adat setempat. Sedangkan hal-hal yang perlu diperbaharui atau diperbaiki sesuai dengan perkembangan zaman (era kesejagatan) sudah mulai ditata disesuaikan dengan kemampuan serta potensi dan kondisi Desa Pakraman Alasngandang sehingga modernisasi tidak melunturkan dan mengikis tradisi, budaya dan adat setempat.
Bidang fisik dari sistem kepercayaan ini terus dilakukan pembenahan dan perbaikan, salah satunya dengan mengadakan rehab-rehab pura . Kondisi pura atau pelinggih di pura Kahyangan Tiga di Alasngandang untuk tahun ini hampir 50 % sudah diperbaharui dengan sumber dana dari pemerintah daerah lewat bantuan dan ditambah dari iuran masyarakat atau krama desa setempat. Maka untuk lebih jelasnya peneliti melaporkan dalam bentuk tabel aset-aset kepemilikan Desa Pakraman Alasngandang yaitu sebagai berikut :
Tabel . 4.
Data Kepemilikan (Aset) Desa Pakraman Alasngandang
| ||
NO
|
NAMA ASET
|
JUMLAH
|
1
|
Pura Puseh
|
1 unit
|
2
|
Pura Bale Agung
|
1 unit
|
3
|
Pura Dalem
|
1 unit
|
4
|
Pura Praja Pati
|
1 unit
|
5
|
Pura Ulun Suwi
|
1 unit
|
6
|
Pura Dukuh Sakti
|
1 unit
|
7
|
Penyucian Ida Betara
|
1 unit
|
8
|
Wantilan
|
3 unit
|
9
|
Bale Banjar
|
1 unit
|
10
|
Kantor LPD
|
1 unit
|
11
|
CBD
|
1 unit
|
12
|
Setra
|
1 unit
|
13
|
Pelinggih Ulun Desa
|
1 unit
|
14
|
Pelinggih Tulak Tanggul
|
1 unit
|
15
|
Pelinggih Perempatan Agung
|
1 unit
|
16
|
Bale Kulkul
|
3 unit
|
17
|
Petapakan Betara Nini
|
1 Paket
|
18
|
Petapakan Betara Gede
|
1 Paket
|
19
|
Petapakan Betara Ayu
|
1 Paket
|
20
|
Petapakan Betara Mas
|
1 Paket
|
21
|
Prerai Betara Kahyangan Tiga dan Pura Dukkuh
|
4 paket
|
22
|
Topeng
|
1 Paket
|
23
|
Gong
|
1 Paket
|
24
|
Tanah ayahan Desa
|
57 ayahan
|
25
|
Tanah Laba Pura
|
7 ha
|
26
|
Tanah Duwe Desa
|
2 ha
|
Sumber : Monografi Desa Pakraman Alasngandang 2009
Di samping aset-aset di atas Desa Pakraman Alasngandang memiliki sarana pendukung yang lain yang sudah tentu berguna untuk membantu dalam menunjang aktivitas desa antara lain :
Menurut Merta wawancara tanggal 27 April 2010 menjelaskan bahwa, persembahyangan purnama tilem di Pura Kahyangan Tiga Desa Pakraman Alasngandang dilaksanakan dengan rutin setiap 15 (lima belas) hari sekali berdasarkan pembagian tempek (pembagian wilayah) di Desa Pakraman Alasngandang. Dalam pelaksanaan persembahyangan purnama tilem tersebut tidak pernah lepas dari kajian Tri Kerangka Dasar Agama Hindu yang berisikan ajaran tattwa, etika dan ritual.
Tri Kerangka Dasar Agama Hindu merupakan tiga ajaran yang saling berkaitan dan merupakan dasar dari ajaran agama Hindu tersebut. Barang siapa ingin mendalami dan mempelajari agama Hindu tersebut hendaknya memahahami betul ketiga kerangka dasar agama Hindu itu. Ketiga konsep kerangka dasar agama Hindu itu ialah tattwa atau filsafat agama Hindu, susila atau etika agama Hindu dan ritual atau upacara agama Hindu, Siden (wawancara : 27 April 2010)
Dalam bukunya Sudharta (2007 : 5) menjelaskan bahwa, Tattwa, etika dan ritual dapat di ibaratkan dengan sebutir telur. Dimana kuning telur atau sarinya merupakan aspek tattwa atau filsafatnya, dan putih telur merupakan aspek dari susila atau etikanya, sedangkan kulit dari telur merupakan aspek dari ritual atau upacaranya. Telur akan menetas dengan sempurna apabila ketiga komponen dari kuning telur, putih telur dan kulitnya berfungsi dengan baik. Begitu juga pada agama Hindu yang akan berjalan dengan baik dan benar apabila dalam melaksanakan aktivitas keagamaannya selalu disertai dengan upacara, etika dan tentu saja berdasarkan tattwa yang benar. Sehingga apa yang menjadi tujuan dari agama tersebut dapat tercapai sesuai dengan kepercayaan umat Hindu.
Ketiga aspek diatas merupakan suatu kesatuan yang utuh dan tidak dapat dipisahkan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa ketiga hal tersebut saling melengkapi, saling keterkaitan dan tentu saja tidak dapat dipisah-pisahkan. Dimana kalau salah satu dari aspek tersebut tidak berfungsi dengan baik maka agama yang kita harapkan belum sempurna.
Aspek tattwa atau filosofinya merupakan inti ajaran agama Hindu, sedangkan aspek susila dan etikanya merupakan pelaksanaan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari. Aspek upacara dan ritualnya merupakan pengorbanan suci yang tulus ikhlas kehadapan Ida Sang Hyang Widhi atau yang bisa dikatakan yadnya. Ketiga aspek tersebut harus dilaksanakan secara baik dan seimbang terutama dalam hal ini yaitu penerapan ajaran tattwa, etika dan ritual dalam persembahyangan purnama tilem di Desa Pakraman Alasngandang yang melipuiti antara lain :
Menurut Merta wawancara tanggal 27 April 2010 menjelaskan bahwa, tattwa merupakan ajaran-ajaran pokok yang mengandung makna atau filosofis dari ajaran agama Hindu. Masyarakat Alasngandang masih sangat awam sekali mendengar kata “tattwa”, istilah tattwa belum begitu dimengerti apalagi dengan menerapkan ajaran-ajarannya. Secara umum masyarakat Alasngadang belum memahami ajaran-jaran tattwa atau makna filosofis yang terkandung dalam setiap aktivitas agama Hindu dan sarana/upakara khususnya dalam persembahyangan purnama tilem di Pura Kahyangan Tiga Desa Pakramnan Alasngandang.
Dalam kamus istilah Agama Hindu (2005:127), kata “tattwa” berasal dari kata “tat” yang artinya hakekat, kenyataan, kebenaran, hakekat dari objek yang konkrit, sari-sari dari suatu ajaran. Aspek tattwa atau filosofi dari ajaran agama Hindu ini merupakan inti ajaran agama Hindu yang akan banyak mengulas tentang makna dari agama Hindu itu sendiri.
Dalam bukunya Titib (2006 : 258) menjelaskan bahwa, inti tattwa itu adalah kepercayaan kepada Tuhan (Ketuhanan) yang disebut dengan Ekatwa Anekatwa Svalaksana Bhatara yang artinya Tuhan itu dalam yang banyak, yang banyak dalam yang Esa. Tattwa adalah kepercayaan, dalam Hindu kita mengenal lima kepercayaan yang disebut dengan Panca Sradha antara lain :
1). Percaya terhadap adanya Tuhan (Widha Tattwa)
2). Percaya terhadap adanya Atman (Atma Tattwa)
3). Percaya terhadap adanya Hukum Karma (Karma Phala)
4). Percaya terhadap adanya Punarbhawa (Samsara)
5). Percaya terhadap adanya Moksa(Bersatunya atman dengan Brahman).
Jadi yang dimaksud dalam hal ini adalah nilai-nilai kebenaran atau sari-sari dari suatu ajaran mengenai pelaksanaan persembahyangan purnama tilem di Desa Pakraman Alasngandang. Adapun nilai-nilai tattwa yang dimaksud meliputi : 1). Kajian tattwa dalam mantram Tri sandhya, 2). Kajian tattwa dalam mantram kramaning sembah dan 3). Kajian Tattwa dalam Sarana Upakara Persembahyangan, adapun uraiannya sebagai berikut :
Menurut Siden wawancara tanggal 27 April 2010 menjelaskan bahwa, Tri sandhya adalah sembahyang yang wajib dilakukan oleh semua umat Hindu tiga kali dalam sehari. Sembahyang rutin ini diamanatkan dalam kitab suci Veda dan sudah dilaksanakan sejak ribuan tahun yang lalu. Bila kita tidak tekun melaksanakan Tri sandhya berarti kiata tidak secara sungguh-sungguh mengamalkan ajaran yang terkandung dalam kitab suci Veda. Banyak hambatan yang dialami mengapa seseorang tidak tekun melaksanakan puja atau sembahyang Tri sandhyya diamtaranya karena kurang memahami makna yang terkandung dalam melaksanakan puja Tri sandhyya, karena tidak dibiasakan (abhyasa) dan karena bahasanya tidak atau kurang dimengerti.
Merupakan sembahyang yang dilakukan tiga waktu yaitu pada pagi hari yang disebut dengan “Surya Puja”, siang hari disebut dengan “Rahina Puja” dan sore hari disebut “Sandhya Puja”. Puja Tri Sandhya terdiri dari enam bait, bait pertama atau sebagai Sandya Vandanam (awal) diambil dari Gayatri atau Savitri Mantram (Rg Veda, Sama Veda dan Yayur Veda) atau sering disebut dengan Gayatri mantram atau ibunya mantra. Setiap melaksanakan puja Tri Sandhya hendaknya selalu didahului dengan penyucian diri (asucilaksana). Gayatri mantra terdapat dalam YajurVeda XXVI. 3. (Widana, 2009 : 45) Tri Sandhya.
Adapun mantranyasebagai berikut :
Om Prasada Sthiti Sarira
Çiva Suci Nirmala Ya Namah Svaha
Artinya:
Ya Tuhan, dalam Siwa suci tak ternodai, hamba telah duduk dengan tenang.
1). Puraka (Menarik nafas)
Om Ang Namah
2). Kumbaka (Menahan nafas)
Om Ung Namah
3). Recaka (Mengeluarkan nafas)
Om Mang Namah
Artinya:
Om Sanghyang Widhi Wasa, Pencipta, Pemelihara, dan Pelebur alam semesta hamba puja Dikau.
Om soddha mam svaha
Om ati soddha mam svaha
Artinya:
Om Sanghyang Widhi Wasa, sucikanlah hamba dari segala dosa
Bait I : Om Om Om Bhūr Bhuvah Svah,
Tat savitur varenyam,
Bhargo devasya dhimahi
Dhiyo yo nah pracodayat
Artinya :
Om Sanghyang Widhi Wasa yang menguasai ketiga dunia ini, Engkau Maha Suci, sumber segala cahaya dan kehidupan, berikanlah budi nurani kami penerangan sinar cahaya-Mu Yang Maha Suci.
Bait II : Om Nārāyana Evedam Sarvam,
Yad bhūtam yasca bhavyam,
Niskalangko niranjano nirvikalpo,
Nirākhyātah sudho deva eko,
Narayano na dvityo asti kaścit
Artinya :
Om Sanghyang Widhi Wasa, sumber segala ciptaan, sumber semua makhluk dan kehidupan, Engkau tak ternoda, suci murni, abadi dan tak ternyatakan. Engkau Maha Suci dan tiadalah Tuhan yang kedua.
Bait III : Om Tvam Sivah Tvam Mahādeva,
Iśvarah parameśvarah,
Brahmā Visnuśca Rudraśca,
Purusah parikirtitāh
Artinya :
Om Sanghyang Widhi Wasa, Engkau disebut juga Siwa, Mahadewa, Brahma, Wisnu dan juga Rudra, karena Engkau adalah asal mula segala yang ada.
Bait IV : Om Pāpo’ham Pāpa Karmaham,
Pāpātma pāpa sambavah,
Trāhi mām pundarikāksah,
Sabāhyā bhyantarah śucih
Artinya :
Om Sanghyang Widhi Wasa, hamba-Mu penuh kenestapaan, nestapa dalam perbuatan, jiwa, kelahiran. Karena itu oh Hyang Widhi, selamatkanlah hamba dari kenestapaan ini, dan sucikanlah lahir bathin hamba.
Bait V : Om Kşvama sva mām Mahādevah,
Sarva prāni hitāńkara,
Mām moca sarva pāpebhyah,
Pālayasva Sadā Sivah
Artinya :
Om Sanghyang Widhi Wasa, Yang Maha Utama, ampunilah hamba-Mu, semua makhluk Engkau jadikan sejahtera, dan engkau bebaskan hamba-mu dari segala kenestapaan atas tuntunan suci-Mu oh penguasa kehidupan.
Bait VI : Om kşantavyah kayiko doşāh,
kşantavyo vācika mama,
kşantavyo mānaso dosah,
tat pramādāt ksamasva mām,
Om Śāntih, Śāntih, Śāntih Om
Artinya:
Om Sanghyang Widhi Wasa, ampunilah segala dosa dari perbuatan, ucapan, dan pikiran hamba, semoga segala kelalaian hamba itu Engkau ampuni. Om Sang Hyang Widhi Wasa,
Semoga damai di hati, damai di dunia, dan damai selalu.
Kramaning sembah merupakan Sembahyang yang dilakukan umat untuk memuja Ida Sang Hyang Widdhi Wasa dengan segala Prabhawa/manifestasi kemahakuasaan-Nya, yang dilaksanakan dengan penuh ketululusan hati, dengan sarana bunga atau kuwangen yang bertujuan mewujudkan suatu kehidupan yang bahagia dan sejahtera lahir batin atau Moksartham Jagadhita (Wiana, 1992 : 11).
Adapun urutan-urutan Kramaning sembah, baik pada waktu sembahyang sendiri ataupun sembahyang adalah sebagai berikut :
Persiapan penyucian sarana upakara sembahyang :
a). Mantra penyucian dupa :
Om Ang Dupa diprasta ya namah
Artinya :
Ya Tuhan dalam wujudmu sebagai Brahma, tajamkanlah nyala dupa kami, sehingga sepeti sinar-Mu.
b).Mantra Penyucian Bunga :
Om Puspadanta ya namah
Artinya :
Ya Tuhan semoga bunga ini cemerlang dan suci.
1) Sembah tanpa bunga (Muyung)
Mantra:
Om Ātma Tattvātmā Śoddha Mām Svāhā
Artinya:
Ya Tuhan dalam wujud atma atau jiwa, dan kebenaran, bersihkan dan
sucikanlah hambamu.
sucikanlah hambamu.
2) Menyembah Sanghyang Widhi Wasa sebagai Sanghyang Aditya dengan sarana bunga.
Mantra:
Om Ādityasyaparam jyoti
rakta tejo namo’stute
svetapankaja mādhyasthah
bhāskārāyo namo’stute
Artinya:
Om Sanghyang Widhi Wasa, Sinar Surya Yang Maha Hebat, Engkau bersinar merah, hormat pada-Mu, Engkau yang berada di tengah-tengah teratai putih, hormat pada-Mu pembuat sinar.
3) Menyembah Sanghyang Widhi Wasa sebagai Ista Dewata dengan sarana Kwangen atau bunga.
Pada muspa inilah yang diantar dengan Pangastawa yang mengkhusus sesuai dengan Ista Dewata yang di puja pada saat ittu. Seperti dalam hal ini di Pura Dalem, Pura Desa dan Pura Puseh.
a). Sembahyang di Pura Dalem
Mantra :
Om catur dewi mahādewi
catur asrame bhatari
Çiwa jagatpati dewi
durgha maçarira dewi
Om catur dewi dipata ya namah
Artinya :
Om Hyang Widhi, sakti-Mu berwujud Catur Dewi, yang di puja oleh Catur Asrama, sakti dari Ciwa Raja Semesta alam dalam wujud Dewi Durgha. Ya, Catur Dewi hamba menyembah kebawah kakimu.
b).Sembahyang di Pura Desa
Mantra :
Om isano sarwa widnyana
Iswara sarwa bhutānam,
Brahmāno dhipati brahmān,
Çiwastu sadā ciwaya
Om Çiwa dipata ya namah.
Artinya :
Om Hyang Widhi, Hyang Tunggal yang Maha Sadar, selaku Yang Maha Kuasa menguasai semua makhluk selaku Brahma Raja dari pada semua Brahmana, selaku Ciwa dan Sada Ciwa. Ya Hyang Ciwa hamba menyembah pada-Mu.
c). Sembahyang di Pura Puseh
Mantra :
Om giripati mahā wiryam
mahā dewa pratista linggam
sarwa dewa pranamyanam
sarwa jagat pratistanam
Om giripati dipata ya namah.
Artinya :
Om Hyang Widhi, selaku Giripati yang Maha Agung, Maha Desa dengan lingga yang mantap, semua dewa-dewa tunduk pada-Mu. Om Giripati hamba menyembahmu.
Selain mantra Pengastawa yang mengkhusus disetiap pura-pura, Sang Hyang Widhi sebagai Ista Dewata dapat juga dipuja dengan mantra sebagai berikut :
Mantra:
Om namo devaya,adhisthanaya,
sarva vyāpi vai Śivāya,
padmāsana ekapratisthaya,
ardhanareśvaryai namo namah svaha.
Artinya:
Om Sanghyang Widhi Wasa, hormat kami kepada dewa yang bersemayam di tempat utama kepada Siwa yang sesungguhnya berada dimana – mana, kepada Dewa yang bersemayam pada tempat duduk bunga teratai sebagai satu tempat, kepada Ardhanaresvari hamba menghormat.
4) Menyembah Sanghyang Widhi Wasa sebagai Pemberi Anugerah, dengan sarana Kwangen atau bunga.
Mantra:
Om anugraha manohara,
deva dattanugrahaka,
arcanam sarva pujanam,
namah sarvanugrahaka,
Om deva devi mahasiddhi,
yajnangga nirmalatmaka,
laksmi siddhisca dirghayuh
nirvighna sukha vrddhisca.
Artinya:
Om Sanghyang Widhi Wasa, Engkau yang menarik hati, pemberi anugerah. Anugerah pemberian Dewa, pujaan dalam semua pujian, hormat pada-Mu pemberi semua anugerah. Kemahasidian Dewa dan Dewi, berwujud Yajna, pribadi suci, kebahagiaan, kesempurnaan, panjang umur, kegembiraan dan kemajuan.
5) Sembah tanpa bunga (Sembah Puyung).
Mantra:
Om deva suksma paramaçintyaya namah svaha.
Artinya:
Om Sanghyang Widhi Wasa, hormat pada Dewa yang tak berpikiran yang maha tinggi, yang maha gaib. Setelah persembahyangan selesai dilanjutkan dengan mohon Tirtha (air suci) dan Bija/Wibhuti.
6) Pembagian Tirtha.
Sebelum Tirtha dipercikkan, ucapkan terlebih dahulu mantram ini:
Mantra:
Om Pratama Sudha, Dvitya Sudha, Tritya Sudha, Caturti Sudha, Pancami Sudha, Sudha, Sudha, Sudha Variastu Namah Svaha.
Artinya:
Om Sanghyang Widhi Wasa, semoga kami dianugerahi kesucian, hormat kepada-Mu.
Dapat pula dengan menggunakan mantram berikut ini:
a). Pemercikan tiga kali ke ubun – ubun:
Mantra:
Om Ang Brahma amrtha ya namah
Om Ung Wisnu amrtha ya namah
Om Mang Isvara amrtha ya namah
Artinya:
Om Hyang Widhi Wasa, bergelar Brahma, Wisnu, Iswara, hamba memuja-Mu semoga dapat memberi kehidupan (dengan tirtha ini).
b). Minum Tirtha tiga kali:
Mantra:
Om sarira paripurna ya namah,
Om ang ung mang sarira sudha,
Pramantya ya namah,
Om ung ksama sampuranya namah.
Artinya:
Om Sanghyang Widhi Wasa, Maha Pencipta, Pemelihara, dan Pelebur segala ciptaan, semoga badan hamba terpelihara selalu, bersih, terang dan sempurna.
c). Meraup, mengusap Tirtha ke muka ke arah atas:
Mantra:
Om Siva amertha ya namah,
Om Sadha Siva amertha ya namah,
Om Parama Siva amertha ya namah.
Artinya:
Oh Hyang Widhi (Siwa, Sadha Siwa, Parama Siwa) hamba memuja-Mu semoga memeberi amrtha pada hamba.
7) Memasang bija:
a). Bija untuk di dahi:
Mantra:
Om Sriyam Bhavantu
Artinya :
(Oh Hyang Widhi, semoga kebahagiaan meliputi hamba).
b). Bija untuk di bawah tenggorokan:
Mantra:
Om Sukham Bhavantu
Artinya :
(Oh Hyang Widhi, semoga kesenangan selalu hamba peroleh).
c). Bija untuk ditelan:
Mantra:
Om purnam bhavantu
Om ksama sampurna ya namah svaha.
Artinya :
(Oh Hyang Widhi, semoga kesempurnaan meliputi hamba, Oh Hyang Widhi semoga semuanya menjadi bertambah sempurna).
8) Meninggalkan tempat suci, didahului Parama santih:
Mantra:
Om Śāntih, Śāntih, Śāntih Om.
Artinya :
Om Sanghyang Widhi Wasa, semoga damai dihati, damai didunia dan damai selalu.
Menurut Beneh wawancara tanggal 27 April 2010 menjelaskan bahwa, bagi masyarakat yang tidak tahu tattwa atau mantra kramaning sembah, didalam muspa ngaturang pangubhakti menggunakan seha atau pengganti mantra yang ada dalam buku atau lontar-lontar mengenai persembahyangan. Adapun seha yang digunakan tersebut adalah sebagai berikut :
Seha : Om Pakulun Paduka Bhatara ........(Nama Dewa yang dipuja)
Iki panjak Iratu angatur aken
Sembah pangubhakti majeng Paduka Bhatara
Dumogi sweca ring panjake sami
Magda selamet sadha rahayu sareng sami.
Artinya :
Om Tuhan Yang Maha Esa dalam manifestasi ........(Nama Dewa yang dipuja), hamba menghaturkan sembah kepada-Mu, semoga Tuhan memberikan kebahagiaan dan kesejahteraan bagi umat semuanya.
Dari hasil beberapa wawancara dapat disimpulkan bahwa, sebagian besar masyarakat Desa Pakraman Alasngandang belum mengetahui dan menggunakan mantra sesuai dengan pola ajaran tattwa dalam melaksanakan muspa kramaning sembah pada persembahyangan purnama tilem di Pura Kahyangan Tiga Desa Pakraman Alasngandang. Sebagai alternatif yang dipakai adalah Seha (pengganti mantra) bagi masyarakat yang belum mengetahui mantra sesuai dengan ajaran Tri Kerangka Dasar Agama Hindu.
4.2.1.3. Pola Ajaran Tattwa dalam Sarana Upakara Persembahyangan.
Menurut Merta wawancara tanggal 27 April 2010 menjelaskan bahwa, masyarakat Alasngandang belum memahami tattwa atau makna dari sarana/upakara yang dipakai dalam persembahyangan purnama tilem di Desa Pakaramn Alasngandang baik itu bunga, dupa, canang, banten pejati dan segahan. Sehingga sarana/upakara persembahyanganpun disalahartikan dan terkadang dikesampingkan karena kurang memahami makna yang terkandung dari sarana/upakara tersebut.
Dalam bukunya Widana (2009 : 74) menjelaskan bahwa, Upakara berasal dari kata “upa” yang berarti “berhubungan dengan” dan “kara” yang artinya “perbuatan/pekerjaan”. Jadi istilah upakara dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang berhubungan dengan perbuatan/pekerjaan yang umumnya berbentuk material. Pendeknya upakara itu berhubungan dengan perlengkapan suatu upacara. Adapun sarana atau alat persembahyangan yang dipakai dalam upacara persembahyangan Purnama Tilem di Desa Pakraman Alasngandang adalah sebagai berikut :
1). Bunga
Bunga adalah lambang kesucian, karena itu perlu diusahakan bunga yang segar, bersih dan harum. Jika pada saat sembahyang tidak ada kawangen, maka dapat diganti dengan bunga (kemabang). Bunga yang tidak baik dipersembahkan menurut AGASTYAPARWA adalah:
"Inilah bunga yang tidak patut dipersembahkan kepada Hyang Widhi, yaitu bunga yang berulat, bunga yang gugur tanpa diguncanng, bunga yang berisi semut bunga yang layau atau yang lewat masa mekarnya, bunga yang tumbuh dikuburan. Itulah bunga yang tidak patut dipersembahkan oleh orang-orang baik" (Pasek, 2008 : 29),
2). Kuwangen
Kuwangen berasal dari bahasa jawa kuno dari kata “wangi” artinya harum. Kata wangi mendapat awalan “ka” dan akhiran “an” sehingga menjadi “kewangin” lalu disandikan menjadi kuwangen yang artinya keharuman yaitu untuk mengharumkan nama Tuhan (Wiana, 2005 : 31). Dalam lontar Sri Jaya Kesunu, Kuwangen disebutkan sebagai lambang “Omkara” sedangkan menurut lontar Brahdhara Upanisad, Kuwangen adalah lambang Ida Sang Hyang widdhi.
3). Dupa
Apinya dupa adalah simbol Sangyang Agni, yaitu saksi dan pengantar sembah kita kepada Hyang Widhi. Api dalam istilah agama Hindu disebut “Apuy, Agni Wahni”, api sebagai sumber kehidupan dewanya Brahma. Sifat api adalah menerangi atau menyinari dan “Dharmanya” membakar. Api merupakan salah satu unsur alam yang dipakai sebagai sarana persembahyangan dan sarana keagamaan, yang berfungsi sebagai perlambang sifat-sifat Tuhan dalam hubungannya turut mempermulia ciptaanya, dan secara simbolis api dipakai sebagai saksi dalam upacara (Wiana, 2005 : 53).
4). Tirtha
Tirtha adalah air suci, yaitu air yang telah disucikan dengan suatu cara tertentu dan disebut dengan Tirtha Wangsuh Pada Hyang Widhi (Ida Betara). Tirtha dipercikan di kepala, diminum dan dipakai mencuci muka. Hal ini dumaksudkan agar pikiran dan hati kita menjadi bersih dan suci yaitu bebas dari segala kotoran , noda dan dosa, kecemaran dan sejenisnya. Tirtha ada dua macam yaitu Tirtha yang didapat dengan memohon kepada Tuhan dan Bathara-bhatara, dan Tirtha yang dibuat oleh pandita dengan puja. Tirtha ini berfungsi untuk membersihkan diri dari kotoran maupun kecemaran pikiran. Adapun pemakaiannya adalah dipercikkan di kepala, diminum dan diusapkan dimuka. Ini merupakan simbolis pembersihan bayu, sabda dan idep (Wiana, 2005 : 83).
5). Bija atau Wija
Bija atau wija di dalam bahasa sanskerta disebut gandaksata yang berasal dari kata “ganda” dan “aksata” yang artinya biji padi-padian yang utuh serta berbau wangi. Bija adalah lambang Kumara yaitu putra atau bija Bhatara Siwa. Kumara ini adalah benih ke-Siwaan yang bersemayam di dalam diri setiap orang. Dengan demikian "Mawija" (Mabija) mengandung pengertian menumbuhkembangkan benih ke-Siwaan yang bersemayam didalam diri kita. Benih itu akan bisa tumbuh dan berkembang apabila ditanam di tempat yang bersih dan suci, maka itu pemasangan Bija(Wija) dilakukan setelah metirtha (Widana, 2009 : 75).
6). Canang
Canang berasal dari bahasa Jawa Kuno yang pada mulanya berarti “sirih”, yang mana sirih ini disuguhkan kepada para tamu (uttama) yang dihormati. Pada jaman dahulu tradisi makan daun sirih adalah suatu kebiasaan yang sangat dihormati. Bahkan didalam kekawin Nitisastra disebut “masepi tikang waktra tan Amucang Wang” artinya sepi rasanya mulut bilamana tiada makan sirih (Pasek, 2008 : 90).
Unsur-unsur canang adalah sebagai berikut yaitu : porosan yang terdiri dari pinang dan kapur dan dibungkus daun sirih merupakan lambang pemujaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, pinang merupakan lambang dari Dewa Brahma, Sirih lambang dari Dewa Wisnu dan Kapur merupakan lambang dari Dewa Siwa. Plawa atau daun merupakan lambang dari tumbuhnya pikiran yang suci, dan ceper berbentuk segi empat adalah lambang dari swastika, bunga adalah lambang keikhlasan dan reringgitan merupakan lambang dari ketepatan hati (Wiana, 1992 : 28).
7). Banten Pejati
Banten pejati adalah nama Banten atau upakara, sesajen yang sering dipergunakan sebagai sarana untuk mempermaklumkan tentang kesungguhan hati akan melaksanakan suatu upacara, dipersaksikan ke hadapan Hyang Widhi dan prabhavaNya. Dalam Lontar Tegesing Sarwa Banten, dinyatakan:
“Banten mapiteges pakahyunan, nga; pakahyunane sane jangkep galang”
Artinya:
Banten itu adalah buah pemikiran artinya pemikiran yang lengkap dan bersih.
Bila dihayati secara mendalam, banten merupakan wujud dari pemikiran yang lengkap yang didasari dengan hati yang tulus dan suci. Mewujudkan banten yang akan dapat disaksikan berwujud indah, rapi, meriah dan unik mengandung simbol, diawali dari pemikiran yang bersih, tulus dan suci. Bentuk banten itu mempunyai makna dan nilai yang tinggi mengandung simbolis filosofis yang mendalam. Banten itu kemudian dipakai untuk menyampaikan rasa cinta, bhakti dan kasih.
Pejati berasal bahasa Bali, dari kata “jati” mendapat awalan “pa”. Jati berarti sungguh-sungguh, benar-benar. Banten pejati adalah sekelompok banten yang dipakai sarana untuk menyatakan rasa kesungguhan hati kehadapan Hyang Widhi dan manifestasi-Nya, akan melaksanakan suatu upacara dan mohon dipersaksikan, dengan tujuan agar mendapatkan keselamatan. Banten pejati merupakan banten pokok yang senantiasa dipergunakan dalam Pañca Yajña (Pasek, 2008 : 105).
8). Segehan
Secara etimologi Segehan artinya Suguh (menyuguhkan), dalam hal ini adalah kepada Bhuta Kala, yang tak lain adalah akumulasi dari limbah atau kotoran yang dihasilkan oleh pikiran, perkataan dan perbuatan manusia dalam kurun waktu tertentu. Dengan segehan inilah diharapkan dapat menetralisir dan menghilangkan pengaruh negatik dari libah tersebut. Segehan adalah lambang harmonisnya hubungan manusia dengan semua ciptaan Tuhan (Wiana, 2005 : 43).
4.2.2. Pola Ajaran Etika dalam Persembahyangan Purnama Tilem.
Menurut Siden wawancara tanggal 27 April 2010 menjelaskan bahwa, etika merupakan suatu prilaku atau sikap yang baik dalam melakukan suatu aktivitas, dalam hal ini adalah etika didalam persembahyangan purnama tilem di Desa Pakraman Alasngandang perlu ditingkatkan, karena etika masyarakat di dalam melaksanakan persembahyangan masih kurang dengan apa yang diharapkan sesuai dengan ajaran Tri Kerangka Dasar Agama Hindu. Hal ini dapat dilihat dari sikap sembahyang masyarakat Alasngandang, baik itu dalam sikap badan dalam sembahyang, sikap tangan saat muspa maupun sikap dalam pembagian tirha dan bija yang tidak disiplin dan masih saling mendahului. Hal inilah yang perlu ditingkatkan supaya etika atau sikap dalam sembahnyang dapat berjalan secara baik sesuai dengan ajaran tri Kerangka Dasar Agama Hindu.
Secara teoritis, Etika berasal dari kata Yunani ethos, yang dalam bentuk jamaknya (ta etha) berarti “adat istiadat” atau “kebiasaan”. Dalam pengertian ini etika berkaitan dengan kebiasaan hidup yang baik, baik pada diri seseorang maupun pada suatu masyarakat atau kelompok masyarakat. Ini berarti etika berkaitan dengan nilai-nilai, tata cara hidup yang baik, aturan hidup yang baik, dan segala kebiasaan yang dianut dan diwariskan dari satu orang ke orang yang lain atau dari satu generasi ke generasi yang lain. Dalam pengertian ini etika mirip dengan pengertian moralitas, yang berasal dari kata Latin mos, yang dalam bentuk jamaknya (mores) berarti “adat istiadat” atau “kebiasaan” (Suhardana, 2006 : 12).
Jadi etika dan moralitas berarti sistem nilai atau aturan tentang tata cara hidup yang baik dalam kaitannya dengan penelitian ini yaitu tentang bertata cara hidup atau berprilaku yang baik dalam melaksanakan persembahyangan purnama tilem di Desa Pakraman Alasngandang
Dengan mentaati etika, tata susila secara tidak langsung dapat menertibkan, mendidik membiasakan diri dan patuh dengan adat istiadat yang telah ditetapkan. Jadi etika atau peraturan tingkah laku yang baik dan mulia yang harus menjadi pedoman hidup manusia.
Hal ini disebutkan dalam kitab Saramuccaya Sloka 160 sebagai berikut :
Cila ktikang pradhana ring dadi wwang,
Hana prawrtining dadi wwang duccila apakanta,
Praydjananika ring hurip, ring wibhawa, ring kaprajnan,
Apan wyartha ika kabeh, yan tan hana cilayukti
Artinya :
Susila itu adalah yang paling utama (dasar mutlak) pada titisan sebagai manusia, jika ada prilaku (tindakan) titisan sebagai manusia itu tidak susila apakah maksud orang itu dengan hidupnya, dengan kekuasaan dengan kebijaksanaan, sebab sia-sia itu semuanya (hidup, kekuasaan, dan kebijaksanaan) bila tidak ada pentrapan kesusilaan pada perbuatan (praktek susila) (Kajeng, dkk. 1994:128).
Dari kutipan tersebut diatas bahwa susila atau etika merupakan hal yang paling penting untuk diperhatikan dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari khususnya dalam persembahyngan purnama tulem. Karena orang yang tidak melaksanakan susila dengan baik hidupnya akan sia-sia dan tidak berguna. Adapun etika dalam pelaksanaan persembahyangan purnama tilem meliputi sebagai berikut :
4.2.2.1 Etika Muspa dalam Persembahyangan Purnama Tilem.
Dalam bukunya Wiana (2005 : 12) menjelaskan bahwa, etika di dalam muspa sangat penting diperhatikan dalam melakukan persembahyangan. Karena dalam upacara keagamaan khususnya Dewa yadnya inilah yang paling kelihatan adalah sikap badan kita didalam melakukan persembahyangan. Sikap-sikap yang dimaksud antara lain : 1). Sikap dan tempat duduk, 2). Sikap tangan dan letak bunga atau kuwangen 3). Sikap hati. Adapun uraiannya sebagai berikut :
1). Sikap dan tempat duduk dalam sembahyang
Menurut Wendra wawancara tanggal 28 April 2010 menjelaskan bahwa, Sikap duduk untuk muspa yang baik adalah sikap silasana atau bersila untuk sikap duduk laki-laki, dan untuk sikap duduk untuk perempuan adalah bajrasana atau bertimpuh dimana kedua tumit kaki diduduki. Usahakanlah sikap duduk itu dengan mengambil sikap badan yang tegak tetapi enak atau tidak kaku. Tidak boleh bungkuk atau miring dan jangan sikap tegang yang dibuat-buat. Usahakanlah duduk hingga tulang punggung dapat tegak lurus atau vertikal.
Mengenai tempat duduk didalam persembahyangan usahakanlah mengambil tempat duduk menghadap kedepan atau menghadapi pelinggih anustana dari Ida Sang Hyang Widhi yang akan kita aturi puspa dalam jarak seperlunya. Usahakanlah pada waktu mencari tempat duduk, kita tidak mengganggu atau menyinggung rasa hati orang yang ada disamping kita. Dan jaganlah lalu lalang didepan orang yang sedang muspa. (Merta, wawancara : 28 April 2010).
Mengenai sikap dan tempat duduk yang sudah dijalskan diatas harus dilaksanakan dan dipahami sesuai dengan tuntunan muspa didalam melakukan persembahyangan terutama pada saat persembahyangan purnama tilem. Karena dengan sikap duduk yang benar dan tempat duduk yang nyaman akan mengahantarkan kita menjadi lebih khusuk didalam menghubungkan diri kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
2). Sikap tangan dan letak bunga dalam sembahyang
Sikap tangan dalam melakukan puja Tri Sandhya adalah sikap amustikarana yaitu cakupan dua tangan didada dan kedua ibu jari bertemu, kemudian empat jari kanan ditutup dengan empat jari kiri yang didahului dengan pranayama (pengaturan nafas). Didalam melakukan puja Tri Sandhya dengan sikap amustikarana tidak mutlak harus menggunakan sarana seperti bunga yang dipakai dalam sikap amustikarana (Titib, 2003 : 37).
Dalam melaksanakan muspa kramaning sembah sikap tangan dan letak bunga sudah ditentukan dan ditetapkan oleh Parisada Hindu Dharma Indonesia. Dalam sembahynag yang dipimpin oleh seorang pemimpin (pandita atau pinandita), maka kita mengikuti tuntunan pemimpin upacara tersebut. Adapun sikap tangan dalam melakukan sembahyang sesuai petunjuk buku upadeça (1968 : 36) adalah sebagai berikut :
Pada saat sembah puyung dengan tangan kosong yaitu pada setiap awal dan akhir sembahyang yang sering disebut dengan sembah tanpa srana. Pada sikap katupan tangan pada ujung jarinya berisi sedikit bunga. Katupan tangan mempunyai arti tertentu harus dilakukan dengan semestinya, agar arti dan maksudnya tidak hilang. Telapak tangan kanan adalah perlambang “sukma sarira” atau perlambangannya sang jiwa. Sebaliknya telapak tangan kiri adalah simbol “stula sarira” atau simbul badan wadag. Lima jari tangan kanan adalah perlambang Panca Budhindria (pelihat, pendengar, pencium, pengecap dan peraba). Sedangkan lima jari tangan kiri adalah simbul Panca Karmendria(mulut, tangan,kaki, badan, kelamin). Karena muspa dilakukan dengan “wahyadyatmika” yaitu lahir bhatin, maka pengatupan tangan yang melambangkan wahyadyatmika ini perlu ditertibkan. Katupkanlah tangan sejak telapaknya hingga jari-jarinya. Jari-jari semuanya harus lurus dan rapat antara yang kanan dengan jari-jari yang kiri, naiknya tangan harus tepat ditengah-tengah badan (didepan mulut, hidung dan sebagainya) jangan miring kesamping kanan atau kiri (Kaler, 2004 : 12).
Katupan tangan pada muspa kramaning sembah disebut dengan “cakuping kara kalih” ini juga memiliki arti menungggalnya lahir bhatin (wahyadyatmika) diri kita. Dirapatkannya semua jari adalah lambang bahwa semua indria kita sudah terikat dan semua indria kita tidak bekerja, sehingga budi nurani sepenuhnya kita sudah kehadapan Ida Sang Hyang Widhi yang diaturi puspa. Gerakan indria kepada sasarn lain kita tutup.
Dalam menggunakan bunga yang melambangkan kesucian hati itu yaitu dengan cara menjepitnya diujung jari. Dan jepitlah dengan jari tengah kanan dan kiri, yakni jari yang tertinggi. Sembulkanlah bunga keatas jangan dijepit tersembunyi, hingga bunga itu merupakan tajuk mahkota dari katupan tangan kita. Kesucian hati yang dilambangkan dengan bunga itu merupakan tajuk dari pelaksanaan muspa. Demikian pula bila memakai sarana kuwangen serta sebagian besar disembulkan keatas. Muka kuwangen dibuat agak mengadah, jangan menghadap kesamping kekiri atau kekanan (Kaler, 2004 : 14-15).
3). Sikap hati dalam sembahyang
Menurut Ratep dalam wawancara tanggal 28 April 2010, menyatakan muspa atau sembahyang harus dilakukan dengan kesucian dan ketenangan hati semaksimal-maksimalnya. Mulai dari berpakaian, sikap duduk, asucilaksana dan sebagainya maka usaha-usaha lain untuk mencapai kesucian dan ketenangan hati perlu ditempuh. Sebagai dimaklumi bahwa hati itu laksana air, sangat mudah bergerak, bergetar dan bergelombang. Ia sangat mudah terpengaruh. Usaha-usaha menenangkan (lebih-lebih waktu muspa) diantarnya adalah dengan mengurangi pengaruh-pengaruh yang menyentuh hati itu. Pengaruh ini biasanya datang dari pancaindra, terutama mata, sehingga pada saat muspa mata dipejamkan untuk meniadakan atau mengurangi penglihatan dengan mana gejolak hati dapat dikurangi.
Pernafasan bisa membantu bahkan bisa menentukan timbulnya ketenangan hati. Sesudah duduk teratur tarikklah nafas panjang-panjang denngan tenang barang 5 atau 10 kali dengan teratur dan pelan-pelan. Lakukanlah ini dengan sabar seenaknya, hingga hati menjadi tenang. Kalau hati belum tenang seperlunya, dada masih terengah-engah, ebar jantung masih cepat belum teratur, maka bernapaslah dalam-dalam seperlunya terus dilakaukan. Dan janganlah kita mulai muspa kalau kita belum mencapai ketenangan hati (Kaler, 2004 : 15-16) .
4.2.2.2 Etika Pembagian Tirtha dan Bija dalam Persembahyangan Purnama Tilem.
Tirtha dan bija merupakan hal yang penting dalam melaksanakan persembahyangan. Sembahyang terasa belum lengkap ketika belum dapat nunas tirtha wangsuhpada dan bija. Biasanya tirtha dan bija ini dibagikan setelah muspa kramaning sembah selesai. Tirtha merupakan air suci, yaitu air yang telah disucikan dengan suatu ritual khusus dan disebut dengan Tirtha Wangsuh Pada Hyang Widhi (Ida Betara). Begitu juga dengan wija atau sering disebut dengan bija ini merupakan lambang Kumara yaitu putra atau bija Bhatara Siwa. (Pasek, 2008 : 79-80).
Menurut Merta wawancara tanggal 28 April 2010 menjelaskan bahwa, pembagian Tirtha dan bija ini dibagikan oleh pinandita atau pemangku dan dibantu oleh jro sedahan atau istri pemangku. Pembagian tirtha dan bija ini dilakuakan secara teratur, mulai dari tempat duduk yang paling depan hingga kebelakang. Etika dalam nunas tirtha ini harus mengambil sikap duduk yang benar dan tidak boleh berdiri. Tirtha ini ditunas/dibagikan kemudian dipercikan di kepala, diminum tiga kali dan dipakai mencuci muka. Hal ini dumaksudkan agar pikiran dan hati kita menjadi bersih dan suci yaitu bebas dari segala kotoran , noda dan dosa, kecemaran dan sejenisnya. Begitu juga dengan bija, bija yang ditunas tersebut dipakai di jidat/selaning lelata, dileher dan ditelan sebanyak tiga butir, bija ini merupakan benih ke-Siwaan yang bersemayam di dalam diri setiap orang. Dengan demikian "Mawija" (Mabija) mengandung pengertian menumbuhkembangkan benih ke-Siwaan yang bersemayam didalam diri kita. Benih itu akan bisa tumbuh dan berkembang apabila ditanam di tempat yang bersih dan suci, maka itu pemasangan Bija(Wija) dilakukan setelah metirtha.
4.2.2.3 Etika Berpakaian dalam Persembahyangan Purnama Tilem.
Pakaian merupakan hal utama yang mempengaruhi penampilan seseorang, berpakaian yang sopan dan rapi adalah cerminan masyarakat yang baik terutama dalam hal sembahyang ke pura. Sembahyang sangat identik dengan kesucian, jadi pakaian yang digunakan dalam sembahyang syaratnya adalah bersih, suci dan dipakai secara rapi menurut norma kesopanan (Kaler, 2004 : 6).
Menurut Sekar wawancara tanggal 13 April 2010 menjelaskan bahwa, Keindahan dalam pakaian sembahyang bukanlah syarat yang utama, baik itu yang bersifat mode, tren, gaul dan sebagainya tidak menjadi jaminan dalam melaksanakan persembahyangan. Hal utama yang perlu diperhatikan adalah kebersihan dan kerapian pakaian saat busana dipakai, ketika berpakaian usahakan tidak mengganggu gerakan badan, jangan terlalu ketat sehingga dapat mengganggu pernafasan dan tidak kaku dalam melakukan gerakan yang nantinya dapat berpengaruh terhadap persembahyangan terutama dalam melakukan muspa.
Menurut Ratep wawancara tanggal 28 april 2010 menjelaskan bahwa, selain dapat mempengaruhi diri sendiri, pakaian juga dapat mempengaruhi pikiran orang lain. Dengan berpakaian yang ketat, berwarna yang mencolok dapat mengganggu pikiran orang yang melihatnya. Usahakan pakaian yang digunakan menyesuaikan dengan ukuran tubuh maksudnya jangan sampai memperlihatkan bentuk atau lekukan tubuh dengan pakaian yang ketat dan transparan, selain itu masalah warna janganlah sampai mengundang perhatian orang artinya pandangan orang selalu tertuju pada objek yang sama sehingga dapat mengganggu pelaksanaan persembahyangan dan pemusatan pikiran saat menghubungkan diri pada Tuhan Yang Maha Esa.
Berpakaian yang bersih, rapi dan sopan akan membuat suasana persembahyangan menjadi aman dan nyaman. Etika berpakaian dalam sembahyang perlu kita tekankan, selain untuk menjaga kesucian pura, etika berpakaian perlu dipahami dan diperhatikan oleh masyarakat supaya tidak dipakai sebagai ajang mode pakaian yang baru. Pakaian dengan mode-mode yang baru biasanya sering dipamerkan dipura saat sembahyang seperti mode kain kebaya, sapari, destar, saput dan pakaian lainnya dengan harga yang bersaing. Hal itulah yang harus kita hindari demi kesucian dan kelestarian budaya Hindu kedepan supaya tidak punah.
4.2.3. Ajaran Ritual atau Upacara dalam Persembahyangan Purnama Tilem.
Menurut Wendra wawancara tanggal 28 April 2010 menjelaskan bahwa, masyarakat Alasngandang dalam melaksanakan suatu ritual atau upacara keagamaan seperti persembahyangan purnama tilem sudah cukup bagus. Dilihat dari prosesi pelaksanaan suatu ritual keagamannya sudah baik dan teratur, hal ini perlu dipertahankan serta ditingkatkan supaya agama Hindu kedepan tidak merosot terutama dalam hal ritual atau upacaranya yang paling kelihatan dan mencolok.
Dalam bukunya Surayin, (2005 : 9) menjelaskan bahwa, upacara berasal dari kata “upa” yang berarti “berhubungan dengan”, dan “cara” yang bersal dari kata “car” yang berarti gerak kemudian mendapat akhiran “a” menjadi kata benda yang berarti gerakan. Jadi upacara adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan gerakan atau kegiatan, atau dalam kata lain upacara adalah gerakan (pelaksanaan) dari pada suatu yadnya. Pada umumnya upacara itu adalah berbentuk materi yang juga disebut “banten”, sebagaimana diketahui tadnya di Bali selalu dilengkapi dengan sesajen-sesajen (upakara).
Upacara adalah sebuah kata yang berasal dari bahasa sansekerta yang berarti “mendekati”. Disamping berarti mendekati juga berarti “penghormatan” inti upacara adalah tattwanya memang suatu aktivitas yang mendekatkan manusia dan alam lingkungannya, dengan sesamanya dan dengan Tuhannya. Pendekatan dengan alam lingkungan alam dengan tujuan untuk membangun alam yang Bhutahita artinya alam linhkungan yang sejahtera (Wiana, 1997 : 37-38).
Disadari bahwa ritual itu merupakan media atau sarana untuk memudahkan bagi umat untuk dapat sampai kepada Beliau yang di puja. Selain menggunakan mantra/doa, menggunakan sarana bunga, dupa, banten dan sebagainya, bahwa ritual itu merupakan satu paket persembahan dengan berbagai aspeknya. Kuncinya adalah jenis apapun ritual yang dipersembahkan tentu didasari dengan hati suci serta tulus ikhlas tanpa mengharapkan alasannya (Subagiasta, 2006 :38). Adapun ritual dalam persembahyangan purnama tilem di Desa Pakraman Alasngandang adalah sebagai berikut :
4.2.3.1 Ritual dalam Persiapan Sembahyang.
Persiapan sembahyang meliputi persiapan lahir dan bathin. Persiapan lahir meliputi sikap duduk yang baik, pengaturan nafas dan sikap tangan. Termasuk dalam persiapan lahir ialah sarana penunjang sembahyang seperti pakaian yang bersih dan rapi, bunga dan dupa, sedangkan persiapan bathin ialah ketenangan dan kesucian pikiran.
Menurut Sekar wawancara tanggal 13 April 2010 menjelaskan bahwa, langkah-langkah persiapan dan sarana prasarana sembahyang pertama-tama adalah Asuci Laksana yaitu membersihkan badan dengan mandi dan keramas, supaya badan kita benar-benar bersih secara jasmani, karena kebersihan badan dan kesejukan lahir mempengaruhi ketenangan hati dalam melakukan persembahyngan terutama dalam memusatkan diri kepada Ida Sang Hyang widhi Wasa. Langkah selanjutnya adalah kebersihan Pakaian, Pakaian waktu sembahyang supaya diusahakan pakaian yang bersih serta tidak mengganggu ketenangan pikiran. Pakaian yang ketat dan warna yang mencolok dapat mengganggu konsentrasi dalam pemusatan pikiran.
Persiapan selanjutnya adalah menyiapkan sarana penunjang persembahnyangan seperti : bunga, kuwangen, dupa, canang, banten, tirtha, bija (wija) dan sarana yang mendukung lainnya. Semua sarana ini harus suci misalnya bunga yang dipakai harus bunga yang masih segar. Selain itu adalah kebersihan Pura atau tempat sembahyang supaya bersih dari sampah atau kotoran-kotoran agar tidak mengganggu proses atau jalannya persembahyangan tersebut.
Persiapan bhatin sebelum melakukan persembahyangan meliputi : Pertama, rasa tulus ikhlas dalam melaksanakan sembahyang. Kedua, kesadaran bathin yang luhur dan suci sesuai dengan ajaran Tri Kaya Parisudha, yaitu : suci dalam pikiran, suci dalam perkataan, dan suci dalam perbuatan. Ketiga, bhakti kepada Ida Sanghyang Widhi Wasa secara pasrah dan utuh. Keempat, kesadaran melaksanakan sembahyang agar ditujukan pada jalan dharma, kesucian dan kesejahtraan mahluk serta alam semesta. Dan yang terakhir meyakini ajaran Tat Tvam Asi yakni memandang semua mahluk mempunyai hakikat yang sama (Merta, wawancara : 28 April 2010 ).
Sebelum masuk ke areal Pura hendaknya “melukat” terlebih dahulu dengan memercikkan tirtha kepada diri kita, sebagai simbol menyucikan diri dan mohon ijin secara niskala. Mangku Siden menambahkan bahwa umat hendaknya masuk ke Pura melalui pintu sebelah kiri dan keluar menuju pintu sebelah kanan karena harus sesuai dengan arah perputaran waktu yang selalu maju.
4.2.3.2 Ritual dalam Puja Tri Sandhya.
Dalam bukunya Titib (2003 : 35) menjelaskan bahwa, Puja Tri Sandhya merupakan sembahyang wajib yang dilakukanoleh setiap umat Hindu tiga kali dalam sehari. Dan Puja Tri Sandhya ini juga dilakukan sebelum melaksanakan muspa Kramaning Sembah khususnya dalam persembahyangan Purnama Tilem yang dilaksanakan di Desa Pakraman Alasngandang. Pelaksanaan Puja Tri Sandhya ini dilakukan secara bersama-sama dan dipimpin oleh pinandita atau Jro Mangku yang muput pada saat itu.
Puja Tri Sandhya ini dapat dilakukan dengan menggunakan sarana berupa bunga, dupa, air suci dan sejenisnya. Tetapi bila hal itu tidak tersedia maka cukup dengan sikap amustikarana yaitu cakupan dua tangan didada, kedua ibu jari bertemu, empat jari kanan kemudian ditutup dengan empat jari kiri, tentunya didahului dengan pranayama (pengaturan nafas) supaya tarikan dan hembusan nafasnya lembut (Titib, 2003 : 37).
Hal terpenting dalam melakukan puja Tri Sandhya adalah mengetahui dan mengerti makna mantram-mantram yang diucapkan, sehingga melalui pemahaman terhadap arti dan makna Puja Tri Sandhya tersebut maka kita akan lebih mantap, yakin dan khusuk memuja keagungan Ida Sang Hyang Widhi. ”Masyarakat di Desa Pakraman Alasngandang sebagian besar belum memahami dan mengerti makna dari mantram Puja Tri Sandhya yang diucapkan” (Siden, wawancara : 28 April 2010).
Dari hasil wawancara tersebut bahwa pelaksanaan Puja Tri Sandhya ini harus dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dan yang paling penting mengetahui dan memahami arti atau makna dari Puja Tri Sandhya yang dilakukan tersebut. Sehingga apa yang kita harapkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dapat tercapai dengan benar. Mangku Siden memberi saran, “Dalam melakukan Puja Trisandya baik sendirian maupun berkelompok hendaknya kita berkonsentrasi dengan baik, mengikuti desah nafas kita dengan halus dan pelan. Sepanjang mampu kita bernafas lantunkanlah sloka-sloka tersebut dengan lemah lembut. Kalau kita melantunkan sloka dengan pikiran, maka mantram tersebut seperti terkejar-kejar atau belomba-lomba dan tidak berakhir dengan bersamaan”.
4.2.3.3 Ritual dalam muspa Kramaning Sembah.
Menurut Wendra dalam wawancara tanggal 14 April 2010 menjelaskan bahwa, Kramaning Sembah merupakan Sembahyang yang dilakukan umat untuk memuja Ida Sang Hyang Widdhi Wasa dengan segala Prabhawa/manifestasi kemahakuasaan-Nya, yang dilaksanakan dengan penuh ketululusan hati, dengan sarana bunga atau kuwangen yang bertujuan mewujudkan suatu kehidupan yang bahagia dan sejahtera lahir batin atau Moksartham Jagadhita.
Setelah melakukan Puja Trisandhya, dilanjutkan dengan melaksanakan Panca Kramaning Sembah yang bermakna sebagai berikut:
1). Sembah pertama dengan tangan kosong (puyung) yang intinya bertujuan untuk memohon kesucian dan memusatkan pikiran.
2). Sembah kedua, ketiga dan keempat dengan memakai bunga dan kawangen dengan tujuan penyampaian rasa hormat kepada Tuhan, penyampaian hormat kepada sifat wujudNya dalam segala manifestasiNya dan kepada para Dewa, serta penyampaian permohonan maaf dan permohonan anugrah.
3). Sembah kelima, yaitu sembah tangan kosong yang merupakan sembah penutup sebagai rasa terima kasih atas rahmatNya dan mengantarkan kembali ke alam gaib (Bajrayasa, Arisufhana & Goda 1981 : 29).
Setelah melaksanakan persembahyangan, umat dipercikkan tirtha wangsuh Ida Bhatara. Tirtha ini dipercikkan 3-7 kali di kepala, 3 kali diminum dan 3 kali mencuci muka (meraup). Hal ini dimaksudkan agar pikiran dan hati umat menjadi bersih dan suci. Kebersihan dan kesucian hati adalah pangkal ketenangan, kedamaian dan kebahagiaan lahir dan bathin itu sendiri (Sujana & Susila, 2002:31).
Mawija atau mabija dilakukan setelah selesai metirtha yang merupakan rangkaian terakhir dari suatu persembahyangan. Wija atau bija adalah biji beras yang dicuci dengan air atau air cendana. Bila dapat diusahakan beras galih dan tidak patah-patah, yaitu beras yang utuh tidak patah (aksata). Wija atau bija adalah lambang Kumara, yaitu putra atau wija Bhatara Siwa. Jadi, mewija mengadung makna menumbuh kembangkan benih ke-Siwa-an itu di dalam diri umat (Sujana & Susila, 2002:31-32).
Menurut Siden wawancara tanggal 14 April 2010 menyatakan bahwa, dalam melaksanakan Panca Kramaning Sembah yang dipimpin oleh Pinandita atau jro mangku, hendaknya umat tidak ikut me-mantram. Hal ini dianalogikan bahwa Pinandita itu seperti sopir bus, sedangkan umat adalah penumpang. Sopir akan mengantarkan penumpangnya sampai tempat tujuan atau terminal. Jika penumpang juga ikut menyetir akan timbul kegaduhan. Sehingga persembahyangan tidak menjadi tenang dan menggangu umat lain yang ingin mengadu masalah hidup kepada Hyang Widhi dan memohon sinar suci-Nya dan tuntunan-Nya menghadapi masalah. Namun, ikut me-mantram tidak dilarang karena menurut Mangku Siden bahwa mungkin umat itu tidak sedang dalam masalah atau ingin belajar menghapalkan mantram tersebut, asal tidak mengganggu konsentrasi umat lain yang sedang sembahyang.
Persembahyangan purnama tilem di Pura Kahyangan Tiga Desa Pakraman Alasngandang yang dilaksanakan oleh masyarakat Alasngandang merupakan suatu bentuk persembahan bhakti kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagai penguasa alam dunia besrta isinya. Disamping sebagai persembahan bhakti kepada Tuhan Yang Maha Esa, persembahyangan purnama tilem mengandung nilai-nilai pendidikan yang luhur yang mencakup beberapa aspek sosial mulai dari nilai sosial relegius, nilai sosial budaya dan nilai dari sosial ekonominya. Berikut akan dijelaskan nilai-nilai yang terdapat dalam persembahyangan purnama tilem tersebut.
Sosial religius berasal dari dua kata yaitu sosial dan religius. “Sosial” dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia pengertian sosial adalah segala sesuatu yang mengenai masyarakat, kemasyarakatan atau juga suka memperhatikan kepentingan umum W.J.S Poerwadarminta, (1976 : 961). Sedangkan “religius” berasal dari kata religi yang artinya kepercayaan kepada Tuhan Selanjutnya kata religius berarti bersifat religi : bersifat keagamaan: yang bersangkutan dengan religi (Tim Penyusun, 1991 : 944).
Dalam bukunya Titib (2006 : 258) menyatakan bahywa, inti tattwa itu adalah kepercayaan kepada Tuhan (Ketuhanan) yang disebut dengan Ekatwa Anekatwa Svalaksana Bhatara yang artinya Tuhan itu dalam yang banyak, yang banyak dalam yang Esa. Tattwa adalah kepercayaan, dalam Hindu kita mengenal lima kepercayaan yang disebut dengan Panca Sradha yaitu : 1). Percaya terhadap adanya Tuhan (Widha Tattwa), 2). Percaya terhadap adanya Atman (Atma Tattwa), 3). Percaya terhadap adanya Hukum Karma (Karma Phala), 4). Percaya terhadap adanya Punarbhawa (Samsara) dan 5). Percaya terhadap adanya Moksa (Bersatunya atman dengan Brarman).
Kelima kepercayaan umat Hindu tersebut diatas, kepercayaan yang paling kuat yang diyakini oleh masyarakat Alasngandang adalah kepercayaan terhadap Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Ini dibuktikan masyarakat secara teratur melaksanakan persembahyangan untuk memuja Ida Sanng Hyang Widhi Wasa atau Tuhan Yang Maha Esa terutama pada hari purnama tilem di pura Desa Pakraman Alasngandang.
Menurut Merta wawancara tanggal 28 April 2010 menjelaskan bahwa, kurangnya pemahaman tattwa dan etika dalam masyarakat Alasngandang pada persembahyangan purnama tilem, dikarenakan masyarakat Alasngandang masih sangat awam tentang ajaran-ajaran ketuhanan yang berisikan makna filosofis tentang persembahyangan. Kalau dilihat dari pengetahuan atau tingkat pendidikannya, masyarakat Alasngandang masih sangat jauh dengan apa yang diharapkan. Inilah yang menjadi salah satu kendala dalam penerapan ajaran Tri Kerangka Dasar Agama Hindu pada pelaksanaan pemsembahyangan purnama tilem di Desa Pakraman Alasngandang.
Selain itu kurangnya penyuluhan-penyuluhan agama yang diberikan pada masyarakat Alasngandang seperti Dharma Wacan dan Dharma Tula yang dapat meningkatkan pemahaman keagamaan khususnya dalam hal yadnya yaitu sembahyang. Sembahyang merupakan hal yang paling penting dilakukan oleh umat Hindu Seperti dalam Bhagavadgita disebutkan :
Manmana bvaha madbhakto
Madyaji mam namaskuru
Mam evai syasi vam
Atmanam matparayanah
(Bhagavadgita, IX.34)
Artinya :
Pusatkanlah pikiranmu padaKu, berbhaktilah kepadaKu, sembahlah Aku, sujudlah padaKu, setelah melakukan disiplin pada dirimu sendiri dan Aku sebagai tujuan engkau akan datang (mendekat) padaKu (Pudja, 1993 : 150).
Yang dimaksudkan dengan Aku disini adalah Ida Sang Hyang Widhi Wasa, dan yang dimaksudkan dengan kamu atau engkau adalah umatnya. Dengan demikian ini berarti bahwa dengan bhakti pada Tuhan seseorang akan dapat menyatu pada-Nya yang mengakibatkan kebahagiaan. Betapa pentingnya hal tersebut sehingga penerapan ajaran tattwa, etika dan ritual dalam persembahyangan purnama tilem harus dilaksanakan dengan baik dan benar sesuai dengan konsep Tri Kerangka Dasar Agama Hindu.
Secara etimologi kata kebudayaan berasal dari kata dasar ”budaya” yang mendapat proses afiksasi ke-an menjadi kebudayaan. Menurut kamus umum bahasa Indonesia makna kata ”budaya” berarti pikiran atau akal budi maka secara morfologis kebudayaan merupakan hal-hal yang berhubungan dengan pikiran atau akal budi (Poerwadarminta, 1991 : 64).
Dari sudut pandang ilmu antropologi kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Kata kebudayaan atau culture berasal dari kata sansekerta ”buddhayah” yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti budi atau akal. Dengan demikian ke-budaya-an dapat diartikan hal-hal yang berkaitan dengan akal (Koentjaraningrat, 1983 : 182 – 1830).
Sehubungan dengan kebudayaan menurut Koentjaraningrat menyatakan bahwa agama adalah unsur terpenting didalam membentuk kebudayaan, dan sistem budaya memiliki empat elemen antara lain :
1). Filsafat keyakinan yang mengendalikan dogma (mindsetting).
2). Etika yaitu tatakrama yang dihasilkan dari keyakinan tersebut.
3). Penghayatan sehari-hari dari agama yang berupa (ritual agama) yang
dimunculkan untuk menyalurkan emosi keagamaan yang menyertai
penghayatan beragama.
dimunculkan untuk menyalurkan emosi keagamaan yang menyertai
penghayatan beragama.
4). Para Shadaka atau umat yang meyakini kepercayaan tersebut (Tantera
Keramas, 2008 : 28)
Keramas, 2008 : 28)
Menurut Warsa wawancara tangal 27 April 2010 menjelaskan bahwa, berbicara tentang sosial budaya pada masyarakat Alasngandang tidak bisa lepas dari apa yang disebut agama, adat dan budaya. Di samping ketiga hal tersebut juga tidak bisa terlepas dengan desa kala patra, sebab sistem pelaksanaan agama, adat dan budaya selalu berdasarkan tradisi yang berlaku di desa setempat. Dalam melaksanakan ritual atau sistem kepercayaan, masyarakat Alasngandang selalu menjungjung kuna dresta dan lokal dresta sebagai bagian dari budaya masyarakat setempat.
Sistem sosial masyarakat Alasngandang lebih mengedepankan kebersamaan dan kegotongroyongan dalam menyelesaikan suatu pekerjaan. Bila ada suatu permasalahan yang muncul dimasyarakat Alasngandang penyelesaiannya diputuskan menurut adat atau awig-awig yang telah disepakati oleh masyarakat setempat. Penyelesaian dimaksud bisa berupa kena sangsi atau didamaikan. Maka penyelesaian persoalan-persoalan seperti ini sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Tjok Istri Putra Astiti bahwa penyelesaian persoalan adat dilandasi oleh tiga azas yaitu azas kerukunan, azas keselarasan, azas kepatutan. Berdasarkan azas-azas ini pula para penguasa banjar menyelesaikan suatu persoalan. Ketiga azas ini selalu menjadi dasar dalam peyelesaian konflik oleh hakim desa dalam hal ini penghulu desa seperti bendesa adat atau kepala dusun. Hubungan yang harmonis selalu dipelihara antara prajuru desa dengan manggalaning dinas dalam hal ini kepala dusun seperti diungkapkan oleh bendesa adat setempat bahwa hubungan bendesa adat dengan kepala dusun seperti suami istri, kepala dusun adalah suaminya dan bendesa adat adalah istrinya maka dalam memutuskan suatu persoalan selalu berkoordinasi. Maka hubungan sosial masyarakat Alasngandang selalu berjalan harmonis. Dan setiap permasalahan selalu diselesaikan oleh kepala dusun yang didampingi Bendesa Adat dengan mengedepankan azas kerukunan, azas keselarasan dan azas kepatutan.
Aspek dari kebudayaan dalam melaksanakan persembahyangan purnama tilem di Desa Pakraman Alasngandang meliputi dua hal yaitu : budaya dalam busana berpakaian dan budaya dalam sarana persembahyangan. Budaya didalam busana berpakaian khususnya dalam persembahyangan purnama tilem di Desa Pakraman Alasngandang mengedepankan nilai seni dan estetika (keindahan).
Busana yang digunakan dalam sembahyang syaratnya adalah bersih, suci dan dipakai secara rapi menurut norma kesopanan. Jadi pada intinya busana didalam melaksanakan persembahyangan tersebut adalah bersih, suci dan busana tersebut dipakai secara sopan. Seiring perkembangan zaman dan budaya, busana persembahyangan selalu memiliki perubahan atau inovasi-inovasi baru terutama dalam hal estetika atau keindahannya. Perubahan-perubahan tersebut secara tidak langsung dapat merubah makna dan kesucian dari busana persembahyangan agama Hindu itu sendiri (Kaler, 2004 : 6).
Menurut Ratep wawancara tanggal 28 April 2010 menjelaskan bahwa, dalam melaksanakan persembahyangan purnama tilem, busana masyarakat Alasngandang selalu mengikuti mode atau gaya busana yang dijadikan tren pada saat itu. Gaya busana itu umumnya di perlihatkan pada kalangan remaja-remaja yang haus akan penampilan yang terbaru. Hal ini ditunjukkan dengan pakaian kebaya remaja putri yang sedikit transparan atau terbuka, selain itu pada busana putra hal yang menonjol adalah pada busana udeng/destar dan kekancutan yang masing-masing memiliki makna tersendiri. Dengan merubah gaya udeng dan kekancutan tersebut tentunya juga merubah makna yang terkandung dalam busana agama Hindu tersebut.
Nilai pendidikan seni budaya juga terdapat dalam sarana upakara pada persembahyangan purnama tilem terutama dalam pembuatan banten. Banten yang merukapan salah satu upakara yang terpenting didalam persembahyangan, selalu berpatokan pada makna dan simbol-simbol yang terkandung dalam pembuatan banten tersebut. Tetapi dalam persembahyangan purnama tilem di Desa Pakraman Alasngandang, banten-banten yang dipersembahkan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa belum sesuai dengan apa yang diharapkan pada ajaran tattwa agama Hindu tersebut.
Menurut Karma wawancara 28 April tanggal 2010 menjelaskan bahwa, banten-banten yang dipersembahkan dalam persembahyangan purnama tilem oleh masyarakat Alasngandang memiliki nilai pendidikan budaya yang sangat tinggi. Banten yang dipersembahkan tersebut kebanyakan masih menggunakan makanan-makanan yang terbungkus dari plastik, seperti snack atau makanan ringan yang siap saji. Masyarakat Alasngandang dalam pembuatan banten persembahan lebih suka menggunakan bahan makanan yang instan atau siap saji. Sedangkan bahan-bahan yang semestinya dipakai seperti ketupat, pisang, jaja gina dan jaja uli sudah jarang sekali dipergunakan. Hal inilah yang perlu dibenahi supaya kebudayaan tradisional yang syarat dengan simbol dan makna yang berbau spiritual tersebut supaya tidak hilang ditelan oleh budaya modern yang serba pkaktis.
Menurut bukunya Prawiro (1990 : 4) menyatakan bahwa, ekonomi adalah studi tentang usaha manusia dalam kegiatannya memenuhi kebutuhan hidup. Tantangan berat yang dihadapi oleh masyarakat dewasa ini adalah tidak hanya menaggulangi krisis moneter dan krisis ekonomi saja, tetapi juga mengubah paradigma dari Ekonomi Kapitalis menjadi Ekonomi Kerakyatan (Ekonomi Sosialis). Tentu saja dalam mengatasi tantangan berat tersebut, diperlukan adanya komitmen yang kuat untuk menumbuhkan kesadaran baru.
Menurut Ratep wawancara tanggal 28 April 2010 menjelaskan bahwa, pada intinya melaksanakan yadnya harus dilandasi dengan ketulusikhlasan dan tanpa menghaparkan imbalan. Tetapi kalau yadnya yang dilaksanakan sampai terasa memberatkan bagi dirinya, itulah yadnya yang tidak ikhlas. Dilihat dari segi perekonomian masyarakat Alasngandang tergolong ekonomi menengah kebawah. Hal ini dilihat dari mata pencahariannya yang kebanyakan seorang petani. Jadi untuk memenuhi kabutuhan sehari-hari saja masyarakat Alasngandang terasa sulit, apalagi harus dituntut dengan melaksanakan yadnya. Dilihat dari tingkat besar kecilnya yadnya memiliki beberapa tingkatan yaitu :
1. Tingkat Nista
a). Nistaning nista
b). Nistaning Madya
c). Nistaning Utama
2. Tingkat Madya
a). Madyaning Nista
b). Madyaning Madya
c). Madyaning Utama
3). Tingkat Utama
a). Utamaning Nista
b). Utamaning Madya
c). Utamaning Utama
Dengan demikian hendaknya dipahami benar mulai dari tingkat kecil, tengah dan tingkat yang paling utama. Bukan berarti tingkat yang paling utama itu yang paling baik dan bukan tingkat nista yang paling buruk. Yadnya itu dilihat dari ketulus ikhlasannya. Seperti dalam Bhagawadgita Bab IX Sloka 26 disebutkan bahwa :
Pattram puspam phalam to yam
Yo me bhaktya prayacchati
Tad aham bhaktyupahrtam
Asnami prayatatmanah
(Bhagavadgita, IX.26)
Terjemahannya:
Siapapun yang dengan kesujudan mempersembahkan kepada-Ku, daun, bunga buah-buahan atau air, persembahan yang didasari oleh cinta dan keluar dari hati suci, Aku terima (Pudja, 1993 : 153).
Yadnya dalam hal ini harus didasari oleh cinta kasih dan hati yang suci, walaupun hanya bisa mempersembahkan sehelai daun, sekuntum bunga, sebiji buah dan seteguk air akan diterima oleh Ida Sang Hayng Widhi Wasa, apabila persembahan tersebut didasari oleh ketulusan dan kesucian hati. Hal inilah semestinya dijadikan pedoman supaya didalam melaksanakan yadnya atau persembahan tidak semata-mata memperlihatkan materi yang dimilikinya. Tetapi dalam kenyataannya masyarakat Alasngandang dalam melaksanakan persembahan kepada Tuhan/Ida Sang Hyang Widhi Wasa memiliki rasa gengsi yang tinggi dalam dirinya. Mereka merasa gengsi jika membawa banten seadanya ke Pura khususnya pada saat persembahyangan Purnama Tilem di Desa Pakraman Alasngandang. Masyarakat berlomba-lomba memperllihatkan dan memamerkan bantennya yang dibawa supaya tidak merasa kalah saing.
Menurut Siden wawancara tanggal 28 April 2010 menjelaskan bahwa, nilai pendidikan yang terdapat dalam sosial perekonomian yaitu dalam membuat upakara-upakara untuk sarana persembahyangan purnama tilem. Terutama dalam hal kecil seperti membuat kuwangen yang semakin disederhanakan. Didalam kuwangen semestinya berisikan dua buah uang kepeng atau pis bolong yang melambangkan windu yaitu Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Tapi uang kepeng yang asli belakangan ini sulit dicari dan harganyapun semakin mahal. Sehingga masyarakat berinisiatif menggantinya dengan alternatif uang logam biasa dan parahnya lagi diganti dengan uang kertas. Hal ini tentu akan mengurangi makna dari kuwangen tersebut yang dipakai sebagai sarana pokok dalam memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Selain dalam hal kuwangen, nilai pendidikan sosial ekonomi juga berpengaruh pada pembuatan upakara banten pejati yang didalamnya berisikan banten daksina. Banten daksina merupakan sarana yang sangat penting dalam melaksanakan suatu upacara keagamaan khususnya pada persembahyangan purnama tilem di Desa Pakraman Alasngandang. Pada umumnya dalam pembuatan banten daksina salah satu unsur terpenting adalah berisikan buah kelapa yang melambangkan Bhuana Agung dan telor bebek melambangkan Bhuana Alit. Dipakainya telor bebek sebagai simbol dari Bhuana Alit yang mempunyai makna kebijaksanaan. Tetapi dalam kenyataannya sebagian besar masyarakat Alasngandang dalam membuat banten daksina masih menggunakan telor ayam yang harganya relatif lebih murah dari pada telor bebek. Tentu saja makna yang tekandung dalam banten daksina yang terbuat dari telor ayam berbeda dengan makna banten daksina yang terbuat dari telor bebek tersebut (Merta, wawancara : 28 April 2010).
Nilai pendidikan dalam bidang sosial ekonomi ini lebih mengarah pada materi yang berupa upakara-upakara persembahyangan. Upakara-upakara yang dipakai dalam suatu aktivitas keagamaan seperti ritual persembahyangan purnama tilem di Desa Pakraman Alasngandang sudah barang tentu memiliki suatu makna dan nilai-nilai yang terkandung dalam upakara tersebut. Jika upakara-upakara tersebut dirubah karena keadaan ekonomi masyarakat yang mendesak, maka makna dan nilai-nilai yang terkandung pada upakara-upakara tersebut juga berubah.
PENUTUP
5.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data mengenai Persembahyangan purnama tilem di Pura Kahyangan Tiga di Desa Pakraman Alasngandang dalam perspektif Tri Kerangka Dasar Agama Hindu, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
5.2 Saran
Dari uraian diatas, maka dapat disampaikan beberapa saran-saran yang nantinya dapat dijadikan dasar untuk mendorong atau memotivasi para pembaca sekalian adalah sebagai berikut:
Anandakusuma Sri Reshi, 2006, Aum Upacara Dewa Yadnya, Surabaya : PT.KAYUMAS AGUNG
Ayu Ira Dewi, Putu, 2008. Pelaksanaan Persembahyangan Purnama Tilem Kampus IHD Negeri Denpasar di Singaraja (Perspektif Nilai Pendidikan Agama Hindu). IHDN Denpasar.
Bajrasana, I Gede, IB Arisufhana & I Gusti Gede Goda. (1981). Acara (Sadacara). Jakarta: Departemen Agama RI. Hal. 12-30
Budiono. 2005. Kamus Ilmiah Populer Internasional. Surabaya : Alumni Surabaya.
Bungin, Burhan. 2001. Metodelogi Penelitian Sosial. Surabaya : Airlangga University Press
Daryanto, SS. 1998. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Surabaya : Apolo.
Departemen Agama RI, 2005 Kamus Istilah Agama Hindu : Denpasar
Dwi Metriani, 2008. Upacara Pati Wangi Dalam Perkawinan Antar Wangsa Di Desa Gulingan Kecamatan Mengwi Kabupaten Badung (Kajian Nilai Pendidikan Agama Hindu). IHDN Denpasar
Iqbal, H. 2002. Metodologi Penelitian dan Aplikasinya. Jakarta : Gihalva Indonesia.
Jawi, I Nyoman, 2007. Makna Pelaksanaan Persembahyangan Purnama Tilem Dalam Meningkatkan Sikap Disiplin Siswa SD Negeri Blahbatuh Kecamatan Blahbatuh Kabupaten Gianyar IHDN Denpasar.
Kadjeng, I Nyoman, dkk. 1994. Sarasamuscaya, Dengan Teks Bahasa Sansekerta dan Jawa Kuna. Surabaya : Paramita.
Kaler, Igusti Ketut. 2004, Tuntunan Muspa Bagi UmatHindu, Penerbit Kayu Mas Agung : Denpasar
______________, 1981, Metode Penelitian Masyarakat, Jakarta : PT. Gramedia
, 1980. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : Aksara Baru
Moleong, Lexy, 1994. Metode Penelitian Kualitatif, Bandung : PT. Remaja Rosda Karya.
Oka Netra, A.A Gde, 1994. Tuntunan Dasar Agama Hindu, Tim Penyusun
PHDI Pusat, 1993, Pedoman Pembinaan Umat Hindu Dharma Indonesia, Jakarta : Upada Sastra.
PHDI Kabupaten Karangasem, 2009, Filosofis Sembahyang, Arti dan Makna Sembahyanga. Amlapura
Posrwadarminta, 1991. Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta : PN Balai Pustaka.
Prawiro, Ruslan, 1990. Ekonomi Sumberdaya. Bandung : Penerbit Alumni
Pudja, Gde, 1993. Bhagavadgita (Pancama Veda). Jakarta : Hanuman Sakti.
Raka Dherana, Tjokorda. 1982. Pembinaan Awig-Awig Desa Pakraman Dalam Tertib Masyarakat. Denpasar
Ritzer, George, 1985. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Jakarta : Rajawali.
Rudia Adiputra I Gede, 2004, Dasar-Dasar Agama Hindu, Jakarta : Lestari Karya Megah
Soehardi, Sigit, 2001. Pengantar Metodologi Penelitian Sosial – Bisnis – Manajemen, Yogyakarta : BPFE UST
Subagiasta Iketut, 2008. Sradha dan Bhakti, Surabaya: PARAMITA
, 2006. Teologi,Filsafat, Etika dan Ritul dalam susastra Hindu, Surabaya: PARAMITA.
Sudaharta ,Tjok Rai,2007 Upadsa Tentang Ajaran-Ajaran Agama Hindu, Surabaya : PARAMITA
Sugiyono. 2005. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung : Alfa Beta.
________, 2007. Metode Penelitian Administrasi, Bandung : CV. Alpabeta
Suhardana, K.M, 2006. Kesejagatan Agama Hindu. Denpasar : PT. PANAKOM.
Sujana, I Made & I Nyoman Susila. (2002). Manggala Upacara. Jakarta: Departemen Agama RI
Sumantra, I Nengah 2009. Dasar-dasar Pendidikan Agama Hindu, Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar.
Suprayogo, Imam dan Tabroni. 2001. Metodologi Penelitian Sosial Agama. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.
Sura I Gede, 1994. Agama Hindu Sebuah Pengantar, Surabaya : PT.KAYUMAS AGUNG
Surayin, Ida Ayu Putu. 2004. Melangkah Kearah Persiapan Upakara-upakara Yadnya. Surabaya : Paramita.
Suwitrayasa, I Nyoman. 2008. Eksistensi Tari Tampyog dan Upacara Piodalan Purnama Kenem di Pura Puseh Desa Adat Manukaya Let Tampaksiring-Gianyar. IHDN Denpasar
Tambang Raras Niken, 2004, Purnama Tilem, Surabaya : PARAMITA
Tim Penyusun. 1991. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka.
Titib, I Made. 2003, Tri Sandhya, Sembahyang dan Berdoa, Surabaya : Penerbit Paramita.
Wiana, Ketut. 2009. Sembayang Menurut Hindu, Penerbit Yayasan Dharma Naradha : Denpasar.
, I Ketut,1999. Pelinggih Di Pemerajan, Denpasar: Upada Sastra.
, Ketut. (2005). Doa Sehari-Hari: Menurut Hindu. Denpasar: PT Pustaka Manikgeni.
,. 1997. Beragama bukan Hanya Di Pura Agama Hindu Sebagai Tuntunan Hidup. Denpasar : Yayasan Dhrama Naradha.
Widana, I Ketut, 2009. Esensi Pelaksanaan Persembahyangan Purnama Tilem Dalam Meningkatkan Kualitas Sraddha Bhakti Sisswa di SD Dangin Tukap Tahun Pelajaran 2008/2009. IHDN Denpasar.
Widana, Igusti Ketut, 2009. Menjawab Pertanyaan Umat, Denpasar : Pustaka Bali Post
Yudha, Triguna, 2000, Teori Tentang Simbol. Denpasar : Widya Dharma
OM SANTIH SANTIH SANTIH OM
SUKSMA